Rabu, 11 Desember 2013

Majelis Rakyat Papua Tetap Merasa Bagian NKRI

Ketua Pokja Keagamaan, Majelis Rakyat Papua (MRP), Semuel Waromi merasa memiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Walaupun kulit hitam, rambut keriting, tetap merasa Indonesia sudah pas menurut cara pikir, cara pandang dan cara lihat 255 suku di tiga zona ekologi kepulauan, pesisir pantai, lembah, rawa dan pegunungan. Hidup dalam keanekaragaman dan keunikan, berbeda tapi tetap satu dalam NKRI,” katanya dalam kunjungan kerja ke Sulawesi Utara di ruang WOC kantor gubernur, Kamis (15/8/2013).

Dia pun mengharapkan pemerintah merekrut orang Papua duduk di kabinet menteri lebih dari satu karena belum proporsional.

Tak hanya itu, MRP juga meminta diberikan kewenangan yang lebih luas dalam mengawal penggunaan anggaran otonomi khusus (otsus) yang sudah berjalan selama 12 tahun.

“MRP belum punya wewenang mengawal bagaimana alur uang yang disalurkan, sampai pada aturan daerah khusus dalam penyelenggaran keuangan,” kata Semuel.

Dia mengatakan MRP telah melaksanakan evaluasi otsus selama 12 tahun di Hotel Sahid Jayapura, menghadirkan 40 kabupaten dan dua kota di dua provinsi serta dua MRP Papua, di mana setiap kabupaten mengutus tiga orang.

Ketika mendengar dari masyarakat akar rumput, 14 bidang yang telah diundangkan dirasakan otsus telah bergema di Papua, namun kebijakan yang dilakukan belum menyentuh masyarakat secara baik.

“MRP akan melaksanakan tugas ke daerah atau provinsi lain untuk melihat dari dekat perdasus atau perda yang memberikan perlindungan atau proteksi terhadap masyarakat dari sisi agama dan budaya. Antara lain sudah kunjungi Aceh, Bali dan sekarang di Sulawesi Utara,” katanya.

 Dia mengatakan, kekhususan berarti ada prioritas khusus untuk orang asli Papua. (bisnis-kti.com)

TNI Pakai Zat Kimia Khusus Bangun Jalan di Papua

Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Budiman mengatakan punya terobosan baru dalam membangun 14 ruas jalan di Papua dan Papua Barat. Sesuai rencana, TNI tidak akan menggunakan bahan aspal untuk meratakan dan memperkeras jalan. "Kami akan gunakan zat kimia," kata Budiman kepada Tempo, Senin, 23 September 2013, di Jakarta.

Zat kimia itu, dia melanjutkan, bisa mengeraskan tanah hingga menyerupai kekuatan batu. Budiman mengaku sudah mencoba teknik ini dalam sebuah labiratorium.

Contoh penggunaannya, zat kimia itu dicampur dengan air. Lalu larutan kimia disiramkan ke tanah dan dipadatkan dengan tanah lagi. Sayang, dia tak mau menyebutkan jelas nama zat kimia itu. "Yang jelas belinya harus di luar negeri, seperti Australia."

Menurut Budiman, teknik penggunaan zat kimia ini lebih murah ketimbang aspal. Zat kimia ini juga lebih praktis, cepat, dan mudah didistribusikan ketimbang aspal. "Terpenting ini ramah lingkungan."

Sebelumnya, Jenderal Budiman memperkirakan butuh dua ribu prajurit untuk membangun 14 ruas jalan di Papua dan Papua Barat. Pasukan Itu terdiri dari tiga batalyon zeni tempur, dan dua detasemen zeni tempur.

Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan ini juga memperkirakan penambahan jumlah pasukan berkat bantuan kekuatan prajurit zeni tempur Marinir, Angkatan Laut. (tempo.co)

Minggu, 09 Juni 2013

Kecurigaan Soal Intelijen Asing Di Indonesia, Khususnya Papua



Hampir 10 tahun yang lalu, sebuah peringatan keras disampaikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang menjabat saat itu yaitu Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa ada sekitar 60 ribu intel asing berkeliaran di Indonesia.
Mengutip berita yang dituliskan KORAN TEMPO berjudul “KSAD : 60 ribu Intel Asing di Indonesia” edisi 26 Desember 2003 disampaikan secara lengkap seperti ini :
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu menyebutkan, sekurang-kurangnya terdapat 60 ribu intelijen asing tersebar di Indonesia. Menurut dia, para intel itu telah lama berada di Tanah Air. “Mereka masuk dengan mudah karena Indonesia belum memiliki arah yang tepat untuk menangkalnya,” kata dia kemarin di Jakarta.
Ryamizard tidak bersedia menjelaskan identitas para intel asing itu dan aktivitas mereka di Indonesia. Kata dia, data intelijen tidak bisa diungkapkan. Ia hanya menegaskan, para intel itu akan dihukum mati bila membocorkan rahasia negara Indonesia. Ia juga menyatakan, untuk menangkal masuknya para intel lebih banyak, “rakyat Indonesia harus memiliki semangat kebangsaan yang kuat.”
Pengamat militer dari CSIS Edy Prasetyono, yang dihubungi secara terpisah, menilai pernyataan KSAD harus didudukkan dalam kerangka tepat dan melihat konteks dunia saat ini. “Batas negara sudah tipis, bahkan hilang. Informasi juga sudah sangat terbuka,” kata dia.
Edy menambahkan, kriteria intel asing yang dimaksud KSAD harus diperjelas. Jika yang dimaksud KSAD adalah mereka yang berusaha mencari informasi rahasia suatu negara secara resmi, kata dia, bisa diperkirakan intel berada di kedutaan besar asing di Indonesia. “Kedutaan mana pun adalah intel yang bertugas secara resmi menggali informasi di negara tempatnya berkantor,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, banyak intel asing menyusup ke dalam tubuh LSM dan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Jadi, ia menegaskan, jumlah intel asing yang disebutkan KSAD mencapai 60 ribu bisa saja benar. Namun, ia menambahkan, jumlah itu tidak perlu dikhawatirkan.
Yang harus mendapat perhatian lebih, menurut Edy, cara Indonesia membangun sistem politik, ekonomi, dan keamanan agar tidak mudah terguncang. Sistem yang baik, kata dia, dapat bertahan dalam suasana keterbukaan sekarang. Dia kemudian mencontohkan sejumlah negara yang akhirnya kandas ketika berusaha menghindarkan diri dari era keterbukaan seperti Myanmar dan Korea Utara.
Saat memberikan sambutan pada acara “Wisuda Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AD” di Magelang bulan lalu, Ryamizard menyampaikan, Indonesia sedang menghadapi ancaman perang modern. Perang ini, kata dia saat itu, dimulai dari infiltrasi agen asing yang menggarap elemen masyarakat tertentu guna menciptakan ketidakstabilan nasional. “Mereka melakukan provokasi dan propaganda untuk memicu timbulnya konflik SARA,” kata dia.
Setelah hancur, masih kata KSAD di Magelang, para agen asing “akan mencuci otak dan mengubah paradigma berpikir dengan penggalangan teritorial. Agresor, kata dia, kemudian akan mengubah paradigma ideologi, politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia. Dengan cara ini, menurut dia, para agresor akan terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM ataupun kejahatan perang. “Bahkan kerap dipuji sebagai pahlawan,” ia menambahkan.
Soal perang modern itu, Edy mengaku sependapat dengan KSAD. Indonesia, kata dia, memang berada di tengah-tengah perang modern. Bahkan, ia menganggap, perang gagasan sedang berlangsung di Asia Tenggara dengan munculnya ide Komunitas Keamanan Bersama. “Siapa yang paling diuntungkan dalam perang gagasan ini, dialah pemenangnya,” ia melanjutkan.
Desakan pihak luar negeri kepada Indonesia untuk menggunakan pembangunan model ekonomi tertentu juga dianggapnya perang modern. Karena itu, kata dia, tentara memang harus ditingkatkan mutu dan keterampilannya dalam kerangka menjaga sistem keamanan negara. Meski begitu, ia berpendapat, tentara bukan satu-satunya garda pertahanan terdepan menghadapi perang modern ini.

Pernyataan mantan kepala staf TNI Angkatan Darat (AD) Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu 10 tahun lalu soal adanya 60 ribu agen asing di Indonesia, baru kali ini mendapat konfirmasi pemerintah.
Tetapi itupun hanya dilokalisir bahwa diduga kuat intel asing bertebaran di PAPUA.
Mengutip pemberitaan REPUBLIKA (28/5/2013), tanggapan yang sangat amat terlambat itu itu disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Pertahanan Mayjen TNI Hartind Asrin menjelaskan, meski pernyataan tersebut hanya berbentuk opini publik, namun bukan berarti data itu tidak valid.
“Boleh jadi jumlah mereka mencapai angka tersebut. Kita semua harus waspada,”ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (27/5) malam. Untuk penanganan intel tersebut, Hartind menegaskan, bola ada di tangan Badan Intelijen Nasional (BIN). Sedangkan, pemerintah hanya sebatas membuat kebijakan.
Tidak hanya itu, dia menjelaskan, media juga bisa berperan untuk membantu pengungkapan keberadaan agen asing ini. Menurutnya,  mereka menggunakan beragam profesi seperti wartawan, peneliti, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sinyalemen dari Kementerian Pertahanan ini langsung mendapat respon dari anggota DPR.
Masih mengutip REPUBLIKA (28/5/2013), Anggota Komisi I DPRRI Nuning Kertopati menjelaskan, bekal data tersebut harus dimanfaatkan oleh intel negara memperketat pengawasan.
Terlebih, adanya eskalasi ancaman di daerah konflik seperti Papua. “Maka pengawasan perlu ditingkatkan,”ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (27/5) malam.
Menurutnya, intelijen asing biasanya datang ke satu negara dengan cara pengelabuan. Hal tersebut juga berlaku untuk para agen asing di Papua.
“Misalnya intelijen asing di Papua bisa saja berkedok agama, bisnis atau pun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masih banyak lagi,”jelasnya.
Dia mengungkapkan, intelijen negara memang seharusnya dapat mengidentifikasi keberadaan mereka. Kemudian, mengelola informasi tersebut dengan cara meningkatkan komunikasi dengan pemuka agama atau adat budaya setempat. Sehingga, bentuk gerakan separatis atau terorisme bisa dicegah.

Pembuktian terhadap keberadaan intel asing di Indonesia memang sangat sulit dilakukan.

Tetapi Indonesia juga memiliki perangkat dan sumber daya manusia yang bertugas di bidang intelijen, baik yang bertugas di Badan Intelijen Negara ataupun yang bertugas dimasing-masing institusi (semisal TNI dan Polri) pada divisi atau bagian intelijen.
Yang juga harus diwaspadai adalah jika patut dapat diduga ada oknum-oknum aparat Indonesia sendiri (serta seluruh jaringan yang dibangunnya) yang justru dipakai oleh kekuatan asing untuk menjadi kaki tangan dan operator-operator operasi rahasia mereka di Indonesia.
Pengetahuan dan segala sesuatu yang menyangkut data resmi, rahasia negara, dokumen resmi negara, informasi negara atau bahkan hasil-hasil penyadapan terhadap berbagai kalangan di Indonesia, hanya bisa dilakukan oleh aparat yang memiliki perangkat teknologi (IT) yang memungkinkan mereka mengakses semua itu.
Dan satu hal yang harus diwaspadai juga, jangan justru ada oknum-oknum aparat Indonesia dan jaringan mereka, yang justru “ngaku-ngaku” jadi intel asing untuk jadi gagah-gagahan dan ajang fitnah yang berbau politik.

Ini yang disebut kontra intelijen. Atau bisa juga yang patut dicurigai memerintahkan anggota tertentu untuk menyamar menjadi jurnalis untuk menyampaikan informasi yang menyesatkan dan provokasi ke jurnalis lain.
Banyak hal yang bisa terjadi menyangkut dunia intelijen. Dan orang awam seperti kita (dan mayoritas rakyat sipil Indonesia) sulit untuk bisa memahami permainan-permainan semacam ini. Apalagi sekarang adalah zaman modern.
Jika benar negara-negara asing semakin berminat menginteli Indonesia maka mustahil bagi mereka menurunkan dan mengerakkan personil-personil yang secara fisik akan mudah dikenali sebagai orang asing (yang secara fisik dikenali sebagai bule).
Kalaupun warga negara asing memang masuk ke Indonesia dalam kapasitas mereka sebagai agen mata-mata, maka peluang yang paling aman bagi mereka adalah menjadi turis atau wisatawan.
Objek pengintelan yang paling mudah disusupi adalah media atau para jurnalis.
Bukan berarti, para wartawan atau jurnalis itu yang menjadi intel asing. Tetapi hasil kerja dan seluruh perangkat kerja yang mereka gunakan dalam bidang kewartawanan yang jadi sasaran empuk penyadapan “berjamaah” (semisal laptop, komputer, blackberry dan semua perangkat komunikasi yang dimiliki kalangan jurnalis), ini yang paling mudah disadap.
Pengintelan di era yang modern ini akan sangat aman dilakukan dengan menggunakan perangkat IT.
Disinilah harus diwaspadai juga, warung-warung atau kios-kios penjual pulsa di berbagai daerah, termasuk toko-toko tak resmi yang menjual alat-alat komunikasi.
Terutama di Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan dan ibukota Indonesia.
Tangan kita jangan mudah menuding negara asing sebagai pihak satu-satunya yang sangat berminat untuk menginteli negara Indonesia.
Hendaklah juga aparat-aparat keamanan di negara ini melakukan introspeksi diri, sudah cukup loyalkah anda semua menjadi aparat di negara ini ?
Jangan-jangan ada diantara oknum aparat di Indonesia yang paling rawan disusupi dan dikendalikan kekuatan asing ?
Bisa juga untuk kepentingan penguasa di negara ini.
Menyebar kemana-mana untuk menginteli target-target politik yang tujuannya untuk kepentingan perorangan dan antar kelompok.
Rumah dari orang-orang yang mau diinteli dikepung dan diawasi, ibarat binatang buas mengawasi mangsanya dari detik ke detik tanpa henti dan tanpa punya rasa malu samasekali menginteli rumah rakyatnya sendiri.
Menyamar jadi tetangga atau membuka usaha di lingkungan perumahan yang diminati oleh penguasa atau institusi tertentu untuk dipermainkan.

Apakah lawan politik pemerintah, tokoh nasional dan pihak-pihak yang bersuara kritis di negara ini dilindungi hak-haknya untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas mereka dengan aman tanpa pengintelan atau penyadapan ?
Khusus masalah Papua misalnya, kita menjadi pihak yang akhirnya semakin dibenci oleh rakyat Papua.
Bagaimana mereka tidak semakin membenci, fakta di lapangan menunjukkan bahwa oknum aparat keamanan kita memperkaya dirinya sendiri dengan sangat menakjubkan.
Kita ambil contoh kasus Aiptu Labora Sitorus yang bertugas di Polres Sorong.
Siapa yang tidak takjub kalau polisi berpangkat rendah ini punya rekening obesitas Rp. 1,5 Trilyun.
Itu sudah bukan masuk dalam kategori rekening gendut tetapi rekening yang kegendutan alias obesitas.
Transaksi senilai Rp 1,5 triliun itu diduga terjadi selama 5 tahun, sejak 2007 hingga 2012. Rekening Labora yang dicurigai oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Ia juga digosipkan memiliki pulau pribadi di wilayah Raja Ampat, Papua.
Lalu bagaimana cara kita menjelaskan kepada dunia tentang fakta yang sangat memalukan ini dari perilaku aparat keamanan kita di Papua ?
Bisakah dibayangkan dan dirasakan, betapa semakin benci dan geramnya rakyat Papua kepada kita semua tanpa terkecuali.
Saudara-saudara kita yang tinggal di wilayah terujung Indonesia ini merasa diabaikan oleh pemerintah tetapi ada oknum polisi yang bisa sekaya itu dari hasil mengeruk kekayaan alam dan berbisnis di wilayah Papua.
Hanya 1 orang polisi, bisa mempunyai rekening Rp. 1,5 Trilyun !
Seandainya pun ada ribuan atau belasan ribu intel asing di Papua, bisakah dibayangkan bahwa negara kita menjadi bahan tertawaan selama ini saat mereka memonitor ada polisi kita yang bertugas di Papua memiliki transaksi hingga Rp. 1,5 Trilyun ?
Dan intelijen kita, terutama KEPOLISIAN yang merasa paling hebat dalam penanganan terorisme di negara ini, tidak bisa mendeteksi perilaku dari anggotanya sendiri di Papua.
Padahal Papua adalah satu-satunya wilayah didalam NKRI yang paling banyak disorot oleh komunitas internasional.
Kita juga perlu memberikan saran kepada Mabes Polri agar tidak lagi menempatkan mantan-mantan Komandan Densus 88 Anti Teror untuk menjadi Kapolda Papua.
Jauh lebih baik menempatkan putra daerah menjadi Kapolda di tanah kelahirannya sendiri.
Beri kesempatan kepada putra daerah Papua untuk memimpin di tanah kelahirannya sendiri agar ada kebanggaan dari warga setempat bahwa putra daerah mereka jadi pimpinan institusi POLRI di Papua.
Putra daerah Papua yang terakhir yang dipercaya menjadi Kapolda adalah Inspektur Jenderal Max Donald Aer pada era kepemimpinan Kapolri Jenderal Sutanto.
Belum tentu Amerika Serikat misalnya, akan menjadi sangat terkagum-kagum kalau Kapolda di Papua adalah mantan Komandan Densus 88 Anti Teror.
Lalu prajurit TNI yang bertugas di Papua, juga harus diperhatikan dengan seluruh keterbatasan dana yang mereka miliki dalam menjalankan tugas.
Disinilah Mabes TNI Cilangkap, utamanya Mabes TNI Angkatan Darat, harus memperhatikan kesejahteraan prajurit mereka dan keluarganya jika sedang bertugas ke daerah-daerah terpencil.
Perhatikan prajurit kalian di daerah-daerah terpencil sebab anggaran negara memang tak besar untuk angkatan pertahanan Indonesia.
Yang selalu menjadi alibi adalah keuangan negara terbatas.

Hal yang paling baik untuk menangkal dan menghindari praktek-praktek intelijen asing di Indonesia adalah pentingnya menjaga moralitas antar sesama anak bangsa.
Pekerjaan intelijen, tak harus memfokuskan sorotan mereka pada wilayah Papua saja, tetapi bisa ke seluruh lini kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Kita harus bangga menjadi rakyat Indonesia.
Kita harus jaga rasa percaya diri dan nasionalisme di dalam diri kita.
Bakar, bakarlah kembali semangat nasionalisme dan cinta pada tanah air.
Kekuatan asing hanya dapat merambah dan merajalela menginteli negara kita kalau anak bangsa di negeri ini lemah terhadap rayuan asing.
Imbalan menjadi intel asing bisa jadi memang akan sangat menggiurkan.
Kita tidak tahu mengenai hal ini secara pasti.
Loyalitas kepada kekuatan asing pastilah juga akan berbuah hal-hal yang sangat manis, mewah, glamour dan indah tak terhingga.
Tapi sedikit saja kita lemah dan memberi celah kepada kekuatan asing untuk menguasai maka masa depan bangsa kita akan dipertaruhkan pada lembaran-lembaran yang suram.
Dan sebelum kita sibuk mencurigai kekuatan asing menginteli negara kita, mari masing-masing melakukan introspeksi diri.
Apakah institusi anda, sudah cukup bersih dari praktek-praktek penyadapan atau pengintelan terhadap elemen-elemen masyarakat yang tak boleh dijamah dan diusik kemerdekaannya ?
Apakah institusi anda, sudah cukup bersih dari pengaruh asing atau sudah benar-benar dijamin kesterilannya ?
Apakah institusi anda yakin, bahwa bukan institusi anda yang melakukan pengintelan dan penyadapan terhadap sesama anak bangsa di negara ini ?
Apalagi jika menginteli dan menyadap pekerjaan kewartawanan dan para aktivis yang berjuang untuk rakyat.
Laptop disadap, handphone atau blackbery disadap, seluruh perangkat kerja dan media sosial disadap, padahal bisa jadi semua praktek penyadapan itu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pribadi pada penyadap yang terus menerus ingin tahu urusan orang lain.
Alias LANCANG.
Apalagi kalau alat penyadap yang digunakan sebenarnya adalah untuk menyadap bidang-bidang terorisme, narkoba dan kejahatan lainnya.
Harus diwaspadai penyalahgunaan, atau bahkan pencurian alat sadap dan hasil-hasil penyadapan itu sendiri.
Apalagi kalau alat sadap itu alih-alih malah digunakan untuk menyadapi para purnawirawan jenderal, tokoh nasional, lawan politik pemerintah, kalangan jurnalis dan pengusaha, partai-partai politik dan sebagainya.
Atau pura-pura menyamar menjadi seribu satu macam sosok agar bisa masuk ke dalam kehidupan para jurnalis, tokoh dan aktivis misalnya.
Menyamar jadi rental mobil, rental supir, supir pribadi, supir dinas, pembantu rumah tangga, pedagang ini itu dan penyamaran lainnya yang sebenarnya sudah diluar batas kewenangan mereka dalam tugas pokok yang ada.
Yakinkan dulu institusi anda bahwa bukan kalian yang melakukan kegiatan-kegiatan intelijen yang kebablasan di negara ini.
Kekuatan asing, hanya bisa merekrut dan memperbanyak agen mata-mata lokal mereka di Indonesia, jika warga negara Indonesia memang sangat lemah nasionalismenya.
Dugaan tentang adanya 6o ribu intel asing di negara ini adalah isapan jempol belaka kalau kecurigaan itu ditumpahkan semua kepada sosok-sosok yang berpenampilan fisik sebagai orang asing (bule).
Besar kemungkinan, mayoritas adalah warga negara Indonesia yang memutuskan untuk bekerja pada kekuatan asing. Lantas, siapa yang mau kita salahkan jika rakyat kita sendiri yang tergiur untuk bekerja pada kekuatan asing ?
Operasi intelijen di negara manapun memang harus mampu meraup dan mengeruk informasi yang sebanyak-banyaknya, dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi.
Dan di zaman sekarang ini - dimana Teknologi Informasi sudah sangat canggih luar biasa - penggunaan sumber daya manusia yang bekerja secara konvensional dalam operasi intelijen asing sesungguhnya sangat kecil prosentasenya.
Sebab, hanya dengan menggunakan IT, negara manapun di dunia ini bisa saling menginteli dan saling mengawasi dari jarak jauh.
Negara yang sudah sangat maju, hanya tinggal duduk manis di negaranya, mereka bisa tahu segala hal tentang Indonesia dari jarak jauh (tanpa harus buang uang membayar agen agen lokal yang jumlahnya sampai 60 ribu orang ?).
Kecanggihan teknologi harus diperhitungkan pada era kekinian.
Sehingga, yang lebih besar prosentasenya untuk bermain dalam transaksi intelijen asing adalah orang-orang yang patut dapat diduga memang sama-sama memiliki akses menembus seluruh data di negara dan menguasai kemajuan teknologi.
Dan untuk menghadapi ancaman intel asing, tak cukup hanya kekuatan intelijen Indonesia yang bisa menangkis semua itu sendirian.
Kita, kita semua yang harus sama-sama waspada dan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang sudah diajarkan oleh para founding fathers kita.

Simaklah pesan-pesan nasional dari para pendiri bangsa kita agar ke depan kita lebih waspada terhadap ancaman global yang menggunakan praktek intelijen untuk menyetir dan menguasai bangsa ini.
“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno)
“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno)
“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”. (Soekarno)
“Kita tak perlu takut pada pengaruh asing, sebab bangsa kita telah menunjukkan dapat menerima pengaruh asing tanpa merusak kebudayaannya sendiri, melainkan karena kreatifitas bangsa Indonesia sendiri pengaruh itu justru dijadikan‘memperkaya’ kebudayaan Indonesia.”  (Pesan Bung Hatta)
Kebudayaan kita menjadi kuat bila ada landasan yang kokoh, yakni adab dan moral. Kebudayaan adalah pertahanan rohani dan semangat, serta martabat bangsa. (Pesan Bung Hatta)
Janganlah mudah tergelincir dalam saat yang akan menentukan nasib bangsa dan negara kita, seperti yang kita hadapi pada dewasa ini, fitnah yang besar atau halus, tipu muslihat yang keras atau yang lemah, provokator yang tampak atau sembunyi, semua itu insya Allah dapat kita lalui dengan selamat, kalau saja kita tetap awas dan waspada, memegang teguh pendirian cita-cita, sebagai patriot Indonesia yang sejati. (Pesan Jenderal Besar Soedirman di Jogjakarta tgl 4 Oktober 1949)
Dalam menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga tetap jangan lengah, karena kelengahan dapat menyebabkan kelemahan, kelemahan menyebabkan kekalahan berarti penderitaan. Insyaf. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara dan bangsa, yang didirikan di atas korban harta benda dan jiwa raga, dari rakyat dan bangsanya itu, insya Allah tidak akan dapat dilenyapkan manusia siapa pun juga”.  (Pesan Jenderal Besar Soedirman)
Jadi, kita harus bangga menjadi bangsa Indonesia dan jangan menggadaikan jatidiri kita sebagai rakyat Indonesia demi kepentingan apapun yang memberikan celah kepada kekuatan asing untuk menguasai.
Mari kita berkawan kepada negara-negara sahabat dan komunitas internasional manapun didunia ini, dengan menunjukkan jatidiri kita sebagai bangsa yang santun, bersahabat dan penuh integritas diri.
Sekali lagi, jaga NASIONALISME !


Oleh : Mega Simarmata, Pemimpin Redaksi KATAKAMI.COM
 May 28, 2013
(Sumber:  http://indonesiakatakami.wordpress.com)