Selasa, 24 Januari 2012

SELAMATKAN PAPUA


            Sebagaimana kita sering mendengar, bahwa Puncak Jaya, adalah suatu wilayah di Papua yang sering bergolak. Puncak Jaya bisa dibilang sebagai daerah gerilya OPM. Mereka secara rutin melakukan aksi bersenjatanya di sana dan sudah beberapa orang aparat keamanan, polisi dan tentara yang menjadi korban, belum lagi warga sipil. Untuk dapat meringkus mereka hidup atau mati memang tidak semudah dibayangkan orang. Kendala utamanya adalah faktor geografis yang begitu sulit dan berat di hamparan gunung dan hutan.
          Namun ada hal yang sangat kontradiktif, kalau tidak bisa dibilang, barangkali hal ini yang menimbulkan kecemburuan sosial sehingga membuat beberapa orang yang merasa ‘tersingkirkan’ dan ‘tidak ikut menikmati’ hasil ‘perhatian’ pemerintah pusat terhadap Papua yang berupa uang, jabatan, dan fasilitas, akhirnya memberontak. Mereka akhirnya memilih hutan dan gunung sebagai tempat tinggalnya.
Seorang kawan yang pernah ke Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua menceritakan kehidupan rakyat di sana. Melihat kondisi di sana, tergambarkan adanya kesenjangan nyata antara rakyat dan pejabat. Padahal itu kondisi di Mulia, distrik kota paling maju dibanding wilayah lain yang jauh sangat tertinggal kondisinya. Jumlah uang yang beredar di kabupaten Puncak Jaya memang sangat banyak, berasal dari APBD (DAU dan DAK), Dana Otsus, dan Royalty Dana Freeport. Tetapi uang itu beredar di “atas” saja. Rakyat hanya kebagian sisa-sisanya, itupun setelah mengais dengan berbagai proposal bantuan dan antri di lorong-lorong kantor Pemda.
Pemda Puncak Jaya sudah berusaha membangun Kota “rumah sosial” untuk rakyat di Mulia, tetapi jumlahnya belum seberapa. Juga, penyiapan pranata fisik ini belum sepenuhnya bisa diikuti dengan penyiapan pranata sosial, misalnya kebiasaan hidup rakyat di sana. Walaupun sudah ada rumah permanen (dari kayu) yang lebih moderen, tetap saja kebanyakan warga memilih kembali dan tinggal di Honai yang berbentuk bulat, rapat tanpa ventilasi, dan penuh dengan asap.
Rakyat biasa boleh dikatakan hidup seadanya di rumah-rumah adat yang sangat sederhana dan sangat jauh dari kelayakan (apalagi jika diukur dengan standar kesehatan). Tetapi untuk para wakil rakyat disediakan komplek perumahan yang sangat bagus, tertata rapi di lingkungan asri. Sungguhpun begitu, hanya sedikit di antara mereka yang betah tinggal di rumah dan di daerahnya. Banyak yang lebih senang menghabiskan waktu untuk pergi ke “kota”, apakah ke Jayapura, Timika, atau bahkan ke Jakarta berlama-lama.
Akhirnya, menangani masalah Papua memang perlu kehati-hatian. Aparat intelijen juga jangan terlalu mudah memasukkan orang dalam daftar hitam di tanah Papua, siapa pun dia dan apa pun jabatan orang tersebut. Para intelijen kini harus semakin cerdas untuk memahami gerak dinamis di tanah Papua. Tanpa pemahaman yang penuh mengenai Papua, kita akan melakukan kesalahan ulang seperti yang terjadi di Timor Timur. Diplomasi mengenai Papua juga harus dilakukan secara cermat dan elegan.
Terakhir tapi penting, membangun Papua bukanlah membangun fisik kota yang semakin indah atau pusat-pusat perbelanjaan yang makin megah. Membangun manusia Papua jauh lebih penting dari segalanya.  Termasuk didalamnya membangun mental yang jujur dan tekad berjuang untuk kesejahteraan bersama, jauh dari niat dan aksi Korup serta budaya ‘aji mumpung’, mumpung masih jadi pejabat, mumpung masih dipercaya, dan sebagainya.

 Mari selamatkan Papua untuk tetap dalam rengkuhan Ibu Pertiwi.

DEMOKRASI DAN KEKERASAN DI PAPUA


Pada 1998 ketika Soeharto jatuh dan rejim Orde Baru runtuh, peluang lebih besar terbuka bagi tumbuhnya kepemimpinan sipil dan gerakan Pro-Demokrasi pada umumnya. Tetapi momentum ini tidak melapangkan proses demokratisasi di Papua. Justru di tahun itu, gerakan demokrasi dimanfaatkan dan dibelokkan dalam wujud baru berupa tuntutan kemerdekaan. Gerakan ini ditandai secara dominan dengan pernyataan tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera. Gerakan Pro-Demokrasi mulai kehilangan momentumnya ketika pengibaran bendera semakin marak, isu HAM tenggelam, dan pimpinan terkemuka Amungme dan sekaligus Papua Thomas Beanal dalam acara tatap muka dengan Presiden Habibie pada Februari 1999 menuntut dikembalikannya kemerdekaan Papua dan menolak berpartisipasi dalam Pemilu 1999.
Proses itu terus berlanjut hingga sekarang, sehingga bisa dikatakan bahwa sepertinya penyelesaian politik di Papua akan mengalami kebuntuan yang serius. Kekerasan menjadi kendala pertama dan utama. Setiap kasus kekerasan baik yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri; pelaku, pendukung, dan simpatisan OPM, warga pendatang, serta masyarakat lainnya yang ada di sana memberikan sumbangan pada penyempitan ruang dialog baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. 

            Dominasi kekerasan – seperti yang belakangan menjadi marak kembali – sebagai jawaban setiap masalah,  juga memperkecil ruang bagi pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat Papua. UU Otsus yang bertujuan untuk pengembangan dan pembangunan di Papua mengalami kendala sangat besar. Pertama, birokrasi pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten, dan kecamatan mengalami kelumpuhan dan disfungsi. Kedua, kenyataan itu diperburuk oleh ketidakpercayaan rakyat Papua pada birokrasi dan kecenderungan resistan terhadap program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah dan menimbulkan gelombang protes. Belum lagi perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat daerah, menjadi semakin menambah dafta panjang ketidakberhasilan Otsus untuk menyejahterakan rakyat Papua.
            Jalan ke arah dialog, negosiasi, rekonsiliasi, dan praktik politik bersama yang lebih demokratis masih tetap merupakan mimpi. Yang paling mungkin dapat dibayangkan dari perkembangan politik di Papua adalah pertarungan-pertarungan politik yang mengandalkan kekerasan. Keberadaan dan sikap ‘perang’ OPM yang ditujukan kepada institusi keamanan RI memberi arti perluasan ruang-ruang kekerasan baru. Kebencian warga Papua terhadap pendatang pada satu sisi, dan ketakutan pendatang pada orang Papua pada sisi lainnya, akan semakin berkembang karena kemampuan politik kedua pihak yang lemah sehingga tidak terjadi negosiasi politik. Kekerasan warga Papua terhadap pendatang tentunya akan dibalas pula oleh warga pendatang. 

            Akankah Papua berhasil merdeka sebagai negara sendiri atau kah ia akan tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia? Jawabannya barangkali masih jauh dan butuh waktu, tetapi pada saat yang sama korban jiwa akan terus berjatuhan. Setiap kekerasan yang satu akan mengundang kekerasan lainnya. Semakin banyak kekerasan itu semakin tumpul inisiatif-inisiatif untuk membangun dialog, negosiasi, dan penyelesaian yang damai dan adil. Sementara itu upaya untuk membangun demokrasi dan perdamaian harus kembali dibangun dari puing-puing kekerasan itu.

Selasa, 17 Januari 2012

ADA YANG TAK SUKA PAPUA DAMAI


 Pejabat Gubernur Provinsi Papua Dr.Drs.Syamsul Arief Rivai, MS mengajak kepada seluruh masyarakat Papua untuk tetap memelihara ketertiban dan menjaga keamanan di Papua, terutama untuk mendukung pelaksanaan Pemilihan Gubernur Provinsi Papua periode 2011-2016. Lantaran ada oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang tidak menginginkan tanah Papua damai.
“Kepada seluruh masyarakat yang ada di Papua, mari kita semua pelihara ketertiban dan keamanan di Papua, terutama dalam menghadapi Pemilihan Gubernur yang akan datang,” ujar Penjabat Gubernur Provinsi Papua Dr.Drs.Syamsul Arief Rivai, MS kepada wartawan di Gedung Negara, belum lama ini.
Memang, keamanan yang kondusif di Papua perlu terus dijaga dan dipertahankan. Kemanan ini bisa terwujud tentunya dengan pengendalian diri, sabar dan tidak mudah terprovokasi, khususnya menjelang pelaksanaan dalam menghadapi persiapan Pemilihan Gubernur yang definitif.

Gangguan keamanan yang terjadi di Papua akhir-akhir ini, merupakan perbuatan orang-orang tidak bertanggungjawab, mereka tidak suka suka apabila Papua damai. Nah, pada saat kedamaian dipelihara, pada saat itupula mereka mencoba melakukan hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di tanah Papua.
Namun tentunya tidak hanya pihak aparat keamanan yang akan menghadang ulah para perusuh dan perusak Papua tersebut. Warga masyarakat asli Papua yang mengingkan hidup tenteram dan damai untuk diri dan keluarganya pasti juga tidak setuju dengan aksi-aksi yang bertentangan dengan kedamaian itu. Mereka pasti juga akan melawannya, minimal tidak akan mengikutinya. Dengan kata lain, pelaku kekerasan, kerusuhan, pengrusakan yang bertentangan dengan kedamaian ini tidak hanya berhadapan dengan aparat keamanan, tetapi juga akan berhadapan dengan seluruh rakyat Papua.
Wahai saudaraku seluruh masyarakat Papua, jaga, pelihara dan ciptakan ketertiban dan keamanan di tanah Papua yang kita semua cintai. Tuhan YME bersama kita.

Selasa, 10 Januari 2012

Dialog PAPUA


          Hingga kini, Papua masih saja bergolak. Berbagai gangguan keamanan yang dilakukan kelompok bersenjata (baca: OPM) secara sporadis masih saja terjadi di beberapa wilayah di propinsi ujung timur Indonesia ini. Seiring dengan itu, di perkotaan (baca: di lingkungan kaum terdidik) mengemuka tuntutan untuk dilakukannya dialog antara pemerintah pusat dan rakyat Papua.
          Sejarah dan status politik Papua yang terus diperdebatkan di kalangan orang Papua,khususnya berkaitan dengan pelaksanaan Act of Free Choice (Pepera) pada 1962 yang menghasilkan integrasi (reintegrasi) Papua ke Indonesia dan kegagalan pembangunan berkaitan dengan implementasi UU Otsus Papua, terutama bila dilihat dari keberhasilan/kegagalan di empat sektor prioritas: pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat,dan pembangunan infrastruktur adalah dua diantara beberapa isu yang diinginkan untuk diangkat dalam sebuah forum dialog.
          Namun satu hal yang harus diingat bahwa DIALOG bukanlah solusi, melainkan media atau forum yang disediakan untuk memulai kebuntuan komunikasi  politik antara Jakarta dan Papua. Komunikasi yang lebih intens dan reguler menjadi penting dalam rangka mengatasi: ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua selama ini. 

          Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang yang harus dipersiapkan secara matang. Meskipun rumit, dialog sangat mungkin dilakukan dengan terlebih dulu menciptakan kondisi-kondisi yang membuat para pihak semakin yakin untuk berdialog.
          Dari seluruh proses damai dan terutama untuk menuju dialog damai antara Jakarta dan Papua, hal terpenting adalah semua pihak harus memiliki pemahaman yang sama mengenai makna dan urgensi dialog.
          Dialog nasional bukan merdeka, dialog juga bukan NKRI, otsus, atau percepatan pembangunan Papua. Esensi dialog adalah sebuah media, alat, cara berkomunikasi bagi para pihak untuk mulai membuka diri, memandang pihak lain secara setara dan bermartabat, serta keinginan baik untuk mau duduk bersama membicarakan isu-isu yang selama ini menjadi sumber perpecahan,ketegangan, konflik,dan asal-muasal kekerasan di Papua.

Senin, 02 Januari 2012

PAPUA TAK MUNGKIN MERDEKA


Belakangan, Organisasi Papua Merdeka (OPM) terus menebarkan teror di wilayah Papua. Kelompok separatis itu selain melakukan penembakan terhadap sejumlah fasilitas umum dan kendaraan, warga sipil, juga aparat keamanan, TNI dan Polri.
Meskipun markas mereka di pegunungan Tanah Hitam pernah dihancurkan dan berbagai dokumen rahasia kelompok ini sudah dipegang aparat keamanan, mereka masih tetap nekad melakukan aksi secara sporadis di berbagai daerah di Papua. Aksi tersebut meraka lakukan, tidak hanya di daerah hutan dan pegunungan, namun juga di perkotaan atau di sekitar daerah pemukiman penduduk, seperti pernah terjadi di Abepura, Jayapura.
Namun satu hal yang pasti bahwa wilayah kedaulatan NKRI, mulai dari Sabang sampai Merauke adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan, bahkan dari dulu hingga sekarang. Sekaligus sejarah juga telah mencatatnya bahwa ide-ide tentang Papua Merdeka adalah sesuatu hal yang tidak akan mungkin terjadi dan terwujudkan.
TNI yang memberikan jaminan atas hal tersebut. Selama ada TNI, maka Papua Merdeka, terlepas dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak akan mungkin terjadi.
Berbagai peristiwa penembakan yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya menurut aparat penegak hukum memang masih dikategorikan dalam bentuk tindak pidana kriminal, sehingga yang bertindak dalam melakukan penyelidikan adalah aparat kepolisian, dan TNI hanya sebatas bersifat membantu (backup). Namun apabila Pemerintah sudah mengklasifikasi dan menyatakannya sebagai separatis, maka TNI yang akan bergerak.

Mustahilnya Papua menjadi merdeka atau sia-sianya pergerakan OPM ini juga pernah dilontarkan tokoh pendirinya sendiri yakni Nicolaas Jouwe, yang mengatakan, Pulau Papua murni milik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak mungkin merdeka.
"Saya dan teman-teman sudah ke PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa, Red) untuk memperjuangkan kemerdekaan Papua. Tapi, mereka bilang kamu tidak mungkin merdeka. Kamu orang Indonesia. Kamu sudah merdeka 17 Agustus 1945. Jadi, merdeka apa lagi yang kamu cari. Itu jawaban dari PBB," kata Nicolaas.