Minggu, 26 Februari 2012

GAM, RMS & OPM


    
     Singkat kata, sebagai bagian dari anak bangsa, saya hanya bisa mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan gerakan separatisme yang masih muncul di Papua. Dukungan jaringan internasional, kemampuan sumber daya manusia dan organisasi yang rapi bisa menjadikan bibit gerakan separatisme meluas. 
        Masalah GAM di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah selesai dengan dicapainya kesepakatan damai (MoU) di Helsinki, 2005 lalu. Sedangkan RMS  sudah tidak ada artinya. Networking-nya sudah tidak ada. SDM-nya tidak ada yang unggul. Pimpinannya pun, Alex Manuputty sudah lari ke AS. Lebih dari itu, banyak elemen masyarakat Maluku yang menolak ide RMS karena hanya nostalgia.
Kini yang masih tersisa dan bahkan belakangan mulai “unjuk gigi” lagi adalah OPM di Papua. Gerakan separatisme Papua ini sangat berbahaya, karena jaringan internasionalnya bagus, SDM-nya mulai bagus, dan ada dorongan dari organisasi internasional seperti LSM di Australia, Belanda, dan Amerika Serikat.
Untuk menghadapi gerakan separatisme ini, ada beberapa cara yang bisa ditempuh pemerintah. Cara pertama, adalah melalui penegakan hukum yang tegas tapi menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kedua, memperhatikan keadilan sosial yang menjadi akar permasalahan. Ketiga, sosialisasi dan pendekatan budaya yang terus-menerus.
Barangkali langkah lain dari penyelesaian OPM di Papua adalah dengan melakukan pendekatan kepada tetua-tetua Dewan Adat Papua, bukan Majelis Rakyat Papua. Selain itu, dengan memberi penghargaan pada tokoh-tokoh Papua yang dulu berjuang untuk Trikora.
Mengapa demikian? Karena pendekatan negara terhadap Papua dinilai banyak pihak terlampau matematis, instrumental dan rasionalis sehingga banyak yang keliru dan ahistoris. Pendekatan ini hanya cocok bagi mereka yang sudah akrab dengan dunia yang modernis dan materialistis. Padahal sebagian besar orang asli Papua yang hidup dalam kesederhanaan dan akrab dengan alam lebih membutuhkan sentuhan pembangunan yang memuliakan kecerdasaan perasaan (kasih, jujur dan toleran).
Mungkin inilah yang dirindukan saudara-saudara kita di Papua untuk memecahkan setiap masalah berat yang mengguncang tanah tumpah darahnya selama ini.

HARUS LEBIH FOKUS TANGANI PAPUA


Berulang kali timbul kejadian yang mengganggu keamanan, ketenangan, dan kedamaian di daerah Papua. Tentunya hal ini tidak boleh dianggap sepele. Karena itu, penanganan masalah tersebut harus tuntas dan menjangkau akar masalahnya.
Berbagai perkiraan muncul tentang latar belakang permasalahan, diantaranya adalah ada indikasi persaingan global karena PT Freeport merupakan perusahaan tambang terbesar. Juga, kemungkinan dilatar-belakangi oleh adanya kesenjangan sosial antara penduduk sekitar PT Freeport dan karyawan perusahaan ini.
Saya cenderung pada analisis yang terakhir. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah PT Freeport sudah berulang kali timbul. Mungkin benar, hal itu dilakukan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menggunakan senjata. Namun, pertanyaannya, apakah masalah itu hanya bisa diselesaikan dengan kekuatan senjata?
Secara empiris pilihan penyelesaian dengan kekuatan senjata tidak tepat, misalnya dalam kasus Aceh merdeka. Kecuali jika sudah berskala besar dan membahayakan kehidupan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melihat pengalaman dan masalah yang timbul di Papua, tampaknya lebih menyangkut masalah keadilan dan kesenjangan sosial.
Secara kasatmata, rakyat dan Provinsi Papua bisa dikatakan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, terutama oleh Jawa. Tak hanya di bidang ekonomi, tapi juga dalam aspek kehidupan lain, seperti di bidang pendidikan, transportasi, komunikasi, dan akses-akses terhadap kehidupan lain. Rakyat Papua melihat bahwa mereka kurang dapat menikmati hasil di daerahnya sendiri, dan daerahnya juga tidak mengalami kemajuan perkembangan yang signifikan. Padahal Papua memiliki sumber daya alam yang sangat potensial maupun yang sudah dieksploitasi.
Sebenarnya kebijakan otonomi telah diberikan kepada Papua, dan hal itu merupakan langkah yang tepat. Namun, pengelolaan otonomi itu masih jauh dari harapan dan tujuan otonomi itu sendiri, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, pemerintah masih belum melakukan pengawasan yang intensif dan efektif terhadap pelaksanaan pengelolaan DAU/DAK. Daerah juga belum bisa melakukan pengelolaan dan pengembangan sumber daya daerah dan pemberdayaan daerah, termasuk masyarakat kecil, agar dapat mencapai kemandirian daerah. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengatasi masalah di Papua adalah, dalam mengambil kebijakan-kebijakan, perlu lebih memperhatikan aspek geografi, geopolitik, geoekonomi, dan geopertahanan dalam kerangka Ketahanan nasional serta implementasi wawasan nusantara.


Dalam kaitan inilah Papua perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Ini bisa dilakukan dengan adanya perimbangan anggaran antara pusat dan daerah dalam kerangka otonomi daerah serta menjaga agar pelaksanaan otonomi daerah dapat mencapai sasaran yang menyentuh kehidupan rakyat. Pemerataan pembangunan dalam keadilan harus dirasakan oleh rakyat Papua yang didukung oleh rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang kuat. Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, harus lebih peduli dan berfokus pada pembangunan Papua yang berkeadilan agar semua anak bangsa merasa senasib sepenanggungan dan merasa satu dalam NKRI.
Menyikapi masalah tersebut, kita perlu lebih berkhidmat kepada wawasan nusantara. Artinya harus diwujudkan implementasinya secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan bangsa, bukan hanya dijadikan slogan. Harus diwujudkan kepulauan nusantara dengan segenap isinya sebagai kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan dengan asas dan arah pandang pada kepentingan bersama, keadilan, kesetiaan, kejujuran, solidaritas, dan kerja sama dalam pengelolaan bangsa dan negara. Dengan wawasan nusantara, harus dilakukan langkah nyata untuk menjamin persatuan dan kesatuan serta menumbuhkan rasa cinta bangsa dan negara. Di sisi lain, pihak PT Freeport juga harus menaruh perhatian dan empati kepada rakyat sekitarnya dalam kerangka tanggung jawab sosial perusahaan.