Senin, 18 Juni 2012

Aktivis Papua Merdeka Mulai Kocar-Kacir, oleh: Viktor Krenak

Penangkapan para aktivis Papua merdeka yang terlibat tindak pidana umum oleh Polda Papua adalah bagian dari tugas penegakan hukum Polri. Kalaupun ada suara keras dari Amnesty Internasional yang menyalahkan polisi atas penangkapan itu, kita bisa mengabaikannya, asalkan prosedur dan mekanisme penindakannya sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku umum.

Pasca penangkapan itu, induk organisasi mereka tampak kocar-kacir, ibarat anak ayam yang kehilangan induknya. Pemandangan ini tampak nyata pasca penangkapan pimpinan KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Buchtar Tabuni 7 Juni pekan lalu. Dari pengakuan Buchtar dan pengikutnya yang ikut tertangkap, Polisi lalu mencomot Mako Tabuni pada 14 Juni lalu. Namun apes bagi Mako, karena ketika ditangkap, Mako melakukan perlawanan, sehingga timah panaspun mengakhiri hidup Mako.

Dari Press Release yang dipublikasikan Humas Polda Papua di Jayapura, tanggal 14 Juni 2012 terungkap bahwa Mako ditangkap bukan karena kegitan politik yang dilakukannya, tetapi karena ada bukti-bukti permulaan yang cukup atas keterlibatannya dalam tindak pidana kriminal, sebagai berikut :
1. Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Warga Negara Asing (Jerman) di Panfal Base’ G yang terjadi pada hari Selasa tanggai 29 Mei 2012.
2. Diduga terkait dalam kasus Penganiayaan dan pembunuhan serta Pembakaran mobil dan korban Saifui Bakhri yang terjadi di Kuburan Waena pada hari Selasa tanggal 22 Mei 2012.
3. Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap korban Gilbert Febrian Ma’dika, TKP di Otonom Kotaraja tanggai 04 Juni 2012.
4. Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Frengki Dungki Kune (anggota TNI) TKP di Entrop dekat Surabaya Motor banggal 05 Juni 2012.
5. Diduga berkait dalam kasus Penembakan terhadap Ikbal Rifai dan Hardi Jayanho TKP di jalan Sam Ratulangi dekat Dinas Perhubungan tanggal 05 Juni 2012.
6. Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Arwan Afuan (PNS Kodam) TKP di Belakang Kantor Walikota Jayapura tanggal 06 Juni 2012.
7. Diduga terkait dalam kasus Penembakan terhadap Tri Sarono TKP di Halaman parkir Uncen Jayapura tanggal 10 Juni 2012
http://humas.polri.go.id/PressReleases/Pages/PRESS-RELEASE-KAPOLDA-PAPUA-TENTANG-KRONOLOGIS-PENANGKAPAN-TERHADAP-MAKO-TABUNI.aspx

Masih menurut isi press release Polda Papua tersebut, terungkap pula bahwa Mako Tabuni tidak tewas di tempat kejadian perkara, tetapi di tangan tim dokter rumah sakit Bhayangkara yang sedang berupaya keras untuk menyelematkan nyawanya. Mako tiba di rumah sakit pukul 10.00 WIT dan meninggal 30 menit kemudian.

Ketika Tim Dokter rumah sakit membuka baju Mako untuk memberikan pertolongan, pada saat itulah, ditemukan barang bukti berupa :
1. satu Pucuk Senpi Iaras pendek jenis Taurus No Seri 915682, No Body XK25556S dan didalam senpi tersebut berisi peluru 6 (enam) butir Kal 38 Spesial. Senpi itu ternyata milik Briptu Hendra anggota Polres Keerom yang hilang tahun 2010 karena dicuri di rumahnya di Perumnas III Waena.
2. Didalam tas korban ditemukan 16 (enam belas) butir peluru Kal 38 Spesial masih utuh.
3. Didalam tas noken ditemukan 1 (satu) Selongsong Peluru.

Jadi kalau “dosa” Mako Tabuni masih ditambah lagi dengan kepemilikan senjata api secara ilegal, serta dugaan pencurian senjata api milik aparat kepolisian.

Saya kira kita sepakat, bahwa Polda Papua punya alasan yang cukup untuk menangkap Mako Tabuni. Kalau saja Mako bisa koperatif seperti Buchtar Tabuni yang ditangkap satu minggu sebelumnya, tentu ia kini masih hidup. Sebagai tahanan, ia bersama para aktivis Papua lainnya memiliki hak hukum untuk membuktikan ketidak-terlibatannya dalam tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Prinsip ini berlaku umum, dan dipraktikan di seluruh negara hukum di dunia.

Kini kita hanya bisa mengurut dada menyesali tindakan Mako yang gegabah. Mungkin saja kegegabahannya bisa membuat para pengikutnya lari kocar-kacir meninggalkan idealisme mereka yang menolak keberadaan Pemerintah Indonesia di Papua yang mereka tuding ilegal itu.

Selamat Jalan Mako. Selamat tinggal KNPB….!!! [Kompasiana]
http://hukum.kompasiana.com/2012/06/16/aktivis-papua-merdeka-mulai-kocar-kacir/

Desain Pemerintah Tentang Papua

PAPUA Tanah Damai (Papua, Land of Peace) merupakan komitmen yang ditegaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga saat ini.

Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Minggu 17 Juni 2012, pendekatan yang damai, dialog, dan bermartabat menjadi pijakan Presiden Yudhoyono dalam mengelola Papua.

Dikatakan Velix Wanggai, berulang kali, Presiden memberikan arahan kepada Kementerian/Lembaga, termasuk TNI/Polri untuk mengelola Papua dengan hati, tidak berpikir “business as usual”, perlu terobosan, dan “thinking outside the box”.

Ketika Yudhoyono mendapat amanah menjadi Presiden untuk kedua kali, maka sejak 20 Oktober 2009 Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II telah mendeklarasikan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan atas konflik yang masih terjadi di tanah Papua. “Setelah Aceh damai, Papua menjadi pekerjaan rumah dari KIB II ini,” kata Velix Wanggai.

Lima posisi dasar pemerintah bagi Papua adalah, satu, menguatkan kedaulatan NKRI dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua.

Kedua, menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, ketiga, melakukan affirmative policies sebagai sebuah diskriminasi positif dan rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua, seperti akses ke perguruan tinggi bermutu, karier di birokrasi dan TNI/Polri, maupun pengusaha asli Papua.

Keempat, mendesain strategi, kebijakan, dan program, termasuk pembiayaan guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan rakyat Papua.

Kelima, mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak kekerasan, baik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok separatis Papua maupun yang dilakukan oleh oknum aparat negara diluar batas kepatutan.(ant/hms)
(http://matanews.com)

SADAR DAN KEMBALILAH 'PULANG' SAUDARAKU


Di dunia ini kaum pemberontak terdiri dari dua kategori yakni kaum pemberontak bilygrand adalah kaum pemberontak yang diakui secara nasional dan kaum pemberontak insurgent adalah kaum pemberontak yang tak diakui secara internasional.
       Nah, kalau TPN-OPM mau menggugat Pepera, itu sama artinya dengan ‘menggarami lautan’ alias SIA-SIA. Mengapa? Karena kaum pemberontak yang bisa mengugat PEPERA ke Mahkamah Internasional hanyalah kaum pemberontak biliygrand yang diakui secara internasional seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Sedangkan TPN-OPM tak masuk kategori kaum pemberontak bilygrand, tapi masih kategori kaum pemberontak insurgent. Karena itu, OPM tak bisa melakukan perbuatan secara internasional karena dia tak diakui oleh masyarakat internasional dalam hal ini negara negara didunia sebagai sebuah subyek hukum internasional. 

       Dengan kata lain, TPN—OPM (OPM) bisa menggugat PEPERA ke Mahkamah Internasional apabila telah memenuhi empat syarat. Pertama, menguasai sebagian wilayah. Kedua, mempunyai tanda pengenal yang jelas. Ketiga, mempunyai pemimpin yang jelas. Keempat, mendapat dukungan rakyat.
       Masalahnya adalah OPM sangat sulit memenuhi 4 syarat itu. Dari kategori wilayah, maka wilayah mana yang dikuasai. Atribut bisa terpenuhi. Dukungan dari rakyat belum tahu siapa yang memberikan dukungan kepada OPM. Namun apabila OPM sudah diterima negara negara internasional sebagai kaum pemberontak bilygrand, maka OPM atau bisa mempersoalkan PEPERA di Mahkamah Internasional.
      Di bagian lain, sebagaimana tertuang dalam Statuta Roma 1948 yang mengatur tentang keberadaan Mahkamah Pidana International, organisasi dunia ini mempunyai kewenangan untuk mengadili 4 jenis pelanggaran HAM berat yakni kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide (pemusnaan etnis), kejahatan perang (war criminal) serta kejahatan agresi (invasi). Padalah PEPERA tak masuk dalam 4 jenis pelanggaran HAM berat, baik kejahatan kemanusiaan, kejahatan genocide, kejahatan perang serta kejahatan agresi. Jadi jelas, kalau para pencetus, pelaku, pendukung, dan simpatisan OPM hendak menuntut RI melakukan pelanggaran HAM berat melalui PEPERA 1969 lalu, maka semua itu akan sia-sia belaka, karena Mahkamah Internasional tidak akan menggubrisnya.
       Apalagi kalau dihadapkan pada hukum nasional RI, karena Indonesia tak mengakui kejahatan agresi sebagai pelanggaran HAM berat. UU HAM No 26 Tahun 2000. Tentang Pengadilan HAM Indonesia hanya mengadili dua jenis pelanggaran HAM yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genocide. Sedangkan kejahatan perang dan kejahatan agresi atau perluasan wilayah tak menjadi kompetensi pengadilan HAM di Indonesia.
Menyangkut rencana International Lawyers for West Papua (ILWP) yang dijadikan ‘senjata’ OPM untuk memuluskan jalan aksi mereka memerdekakan Papua terlepas dari NKRI dengan cara menggugat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Tahun 1969 di Mahkamah Internasional, bisa dipastikan tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Alasannya karena syarat untuk menggungat ke Mahkamah Internasional adalah sebuah negara, sementara ILWP sendiri bukanlah suatu negara.