Minggu, 27 November 2011

INGIN PAPUA DAMAI


Hingga sekarang, masih saja timbul kejadian yang mengganggu keamanan, ketenangan, dan kedamaian di daerah Papua. Tentunya hal ini tidak boleh dianggap sepele. Karena itu, penanganan masalah tersebut harus tuntas dan menjangkau akar masalahnya.

Bila memang ternyata gangguan keamanan itu dilakukan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang menggunakan senjata maka sesungguh-nya pilihan penyelesaian dengan kekuatan senjata tidak tepat, kecuali jika sudah berskala besar dan membahayakan kehidupan bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Melihat pengalaman dan masalah yang timbul di Papua, tampaknya lebih menyangkut masalah keadilan dan kesenjangan sosial.
Secara kasatmata, rakyat dan Provinsi Papua bisa dikatakan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, terutama oleh Jawa. Tak hanya di bidang ekonomi, tapi juga dalam aspek kehidupan lain, seperti di bidang pendidikan, transportasi, komunikasi, dan akses-akses terhadap kehidupan lain. Rakyat Papua melihat bahwa mereka kurang dapat menikmati hasil di daerahnya sendiri, dan daerahnya juga tidak mengalami kemajuan perkembangan yang signifikan. Padahal Papua memiliki sumber daya alam yang sangat potensial maupun yang sudah dieksploitasi.
 Sebenarnya kebijakan otonomi telah diberikan kepada Papua, dan hal itu merupakan langkah yang tepat. Namun, pengelolaan otonomi itu masih jauh dari harapan dan tujuan otonomi itu sendiri, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Tanpa bermaksud mengguris, beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan untuk mengatasi masalah di Papua adalah dalam mengambil kebijakan-kebijakan perlu lebih memperhatikan aspek geografi, geopolitik, geoekonomi, dan geopertahanan dalam kerangka Ketahanan nasional serta implementasi wawasan nusantara.
Dalam kaitan inilah Papua perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Pemerataan pembangunan dalam keadilan harus dirasakan oleh rakyat Papua yang didukung oleh rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang kuat.

Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, harus lebih peduli dan berfokus pada pembangunan Papua yang berkeadilan agar semua anak bangsa merasa senasib sepenanggungan dan merasa satu dalam NKRI. Data yang akurat dan argumentasi yang mantap berkaitan dengan prioritas pembangunan harus dimiliki oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah di Papua sebagai bahan untuk diperjuangkan ke pusat guna merumuskan kebijakan yang tepat. 

Sementara itu, aparat intelijen harus mewaspadai adanya infiltrasi tersembunyi maupun adanya NGO, karena bisa saja digunakan bagi kepentingan asing terselubung yang memprovokasi penduduk asli untuk melakukan tindakan kriminal dan kekerasan.

MENJADIKAN PAPUA SEJAHTERA


Terdapat pandangan yang berbeda antara Jakarta dan tokoh-tokoh Papua soal integrasi Papua ke NKRI. Bagi nasionalis Jakarta, masalah intergasi Papua sudah selesai. Sebaliknya, bagi tokoh-tokoh Papua, ada masalah dalam proses integrasi tersebut. Hal itu diperparah lagi dengan pembangunan ekonomi pasca integrasi yang gagal yang ditandai dengan timpangnya kesejahteraan rakyat Papua dan Jawa serta pulau-pulau lainnya.
             Seyogyanya kita tidak berkutat pada masalah proses integrasi Papua ke NKRI. Yang penting saat ini adalah, bagaimana pembangunan ekonomi di Papua bisa mensejahterakan rakyat di sana. Apalagi hasil sumber daya alam Papua sangat melimpah.
Selama ini, kekayaan alam Papua justru banyak diangkut ke luar Papua. Padahal di sisi lain, masyarakat Papua tentu saja menginginkan hidup mereka sejahtera seperti halnya saudara-saudaranya sebangsa dan setanah air yang berada di wilayah-wilayah lain Indonesia.
Ketidakadilan ekonomi dan sosial di Papua memang luar biasa. Kekayaan alam Papua yang berlimpah, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat Papua. Sumber daya alam itu justru dibawa keluar Papua oleh perusahaan multi nasional seperti Freeport. Padahal, dengan penduduk yang kurang dari 3 juta jiwa, bila kekayaan alamnya dikelola secara lebih adil, kesejahteraan rakyat Papua pasti bisa dengan cepat ditingkatkan.
            Upaya pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat untuk meredam tuntutan pemisahan diri yang hingga kini masih bertiup kencang dari Tanah Papua, dalam perjalanannya ternyata tidak semulus harapan. 

Mengapa Otsus yang diikuti dengan kuncuran dana triliunan rupiah setiap tahunnya ke bumi cenderawasih itu kemudian mendapat penolakan dari masyarakat Papua?.
Penyebabnya tidak tunggal. Mulai dari yang paling jamak yakni KORUPSI (karena memang para pengelola dana Otsus dengan tahu dan mau menilep-nya untuk memenuhi pundi-pundi pribadi secara ilegal), juga karena perangkat daerah belum dipersiapkan secara baik untuk mengelola “tumpukan” harta yang datang tiba-tiba itu, untuk sebesar-besarnya dikelola bagi kemakmuran rakyat Papua.
Di bagian lain, masih adanya kekurangan dan kelemahan dalam peraturan dan pengaturan Otsus “dimanfaatkan” oleh banyak pihak (termasuk juga oleh okum-oknum pejabat di pusat) untuk menangguk untung di air keruh. Belum lagi “aksi-aksian” ormas/lembaga/forum/LSM tertentu (tidak tertutup kemungkinan oknum wakil rakyat di pusat dan daerah) yang di permukaan tampak peduli menyuarakan anti-korupsi tetapi ujung-ujungnya minta jatah.
Jika celah ini tidak segera disumbat, maka dana Otsus (baca : new deal for) Papua akan semakin banyak raib. Kalau raibnya ke Kota dimakan oleh orang-orang di seputaran pak pejabat (daerah dan pusat), kalau raibnya ke “hutan” dimakan gerombolan pemberontak dan para pejuang separatis. Itulah sebabnya mengapa “new deal for Papua” yang mestinya mampu mengubah wajah kemiskinan Papua dalam 25 tahun, namun hasilnya belum tampak signifikan kendati “masa kontrak”-nya sudah berjalan 10 tahun. Bahkan terkesan “kurang galak” ketimbang aksi-aksi gerilya para pejuang papua merdeka yang bertambah yakin bahwa “kemerdekaan” Papua sudah semakin dekat. 
 Semuanya terkembalikan kepada kita, apa yang kita mau: mengejar sisa waktu yang hitungannya tinggal 3 kali lagi putaran Pilpres untuk bekerja mati-matian dengan hati dan iman agar PAPUA BISA DIPERTAHANKAN dengan “senjata” KESEJAHTERAAN dan KEMAKMURAN atau mempertahankannya dengan bedil aparat keamanan.


KESEJAHTERAAN, MASALAH PALING KRUSIAL DI PAPUA

Papua, provinsi yang terletak di ujung timur NKRI dan memiliki luas wilayah tiga setengah kali Pulau Jawa ini, selalu menjadi perbincangan dan perdebatan, tidak hanya di tingkat nasional dan regional, namun juga di tataran internasional.
Melihat Papua, sepertinya terdapat perbedaan pandangan antara Jakarta dan tokoh-tokoh Papua soal integrasi Papua ke NKRI. Bagi nasionalis Jakarta, masalah intergasi Papua sudah selesai. Sebaliknya, bagi tokoh-tokoh Papua, ada masalah dalam proses integrasi tersebut. Terlebih lagi, hal ittu dipenaruhi secara kuat oleh kondisi pembangunan ekonomi pasca integrasi yang dianggap tidak berhasil, mengingat masih adanya ketimpangan kesejahteraan rakyat Papua dan Jawa serta pulau-pulau lainnya.
      Masalah integrasi memang diakui banyak pihak, bahkan PBB, tidak ada lagi masalah. Papua adalah bagian dari wilayah NKRI, titik.
        Saat ini yang penting untuk menjadi perhatian semua komponen bangsa, tidak hanya pemerintah semata, adalah bagaimana pembangunan ekonomi di Papua bisa mensejahterakan rakyat di sana. Apalagi hasil sumber daya alam Papua sangat melimpah.

Rakyat Papua merasakan adanya ketidakadilan ekonomi dan sosial, padahal mereka ingin hidup sejahtera seperti rakyat Indonesia lainnya yang berada di pulau-pulau lain di wilayah Nusantara ini. Kekayaan alam Papua yang berlimpah, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat Papua. Sumber Daya Alam (SDA) itu justru dibawa keluar Papua oleh perusahaan multi nasional seperti PT. Freeport Indonesia. Padahal, dengan penduduk yang kurang dari 3 juta jiwa, bila kekayaan alamnya dikelola secara lebih adil, kesejahteraan rakyat Papua pasti bisa dengan cepat ditingkatkan.

Hal ini memunculkan satu pertanyaan sekaligus tantangan, apakah kita mampu mengelola SDA yang ada di Papua, dihadapkan pada kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Papua yang sedemikian itu? Tentu saja Hal ini menjadi renungan kita bersama.
     Masyarakat Papua menjadi lebih terpuruk, setelah kucuran dana yang digelontorkan pemerintah pusat untuk percepatan pembangunan Papua melalui Otsus, dikorup oleh birokrat dan politisi lokal. Data menunjukkan, dana-dana dari pusat, di luar anggaran rutin, hanya 30% yang sampai ke rakyat. Sedangkan 70% nya habis oleh birokrat dan politisi lokal. Sebagai bukti, sudah cukup banyak pejabat Papua yang dibui karena melakukan praktek korupsi.
Oleh karenanya, perlu pengaturan yang lebih baik, diiringi dengan pengawasan yang kuat dan sanksi yang tegas menyangkut dana peruntukkan bagi Papua yang jumlahnya sangat besar tersebut. Kalau persentase anggaran atau jumlah uang yang jatuh ke tangan rakyat (direalisasikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat) lebih besar, maka saya yakin manfaat NKRI akan dapat dirasakan rakyat Papua, dan hal ini niscaya dapat meredam gejolak dan tuntutan merdeka di Papua.
Bisa dikatakan bahwa soal kesejahteraan adalah masalah paling krusial di Papua.