Minggu, 26 Agustus 2012

Tokoh Agama Kecam Pendukung OPM


Siapa bilang para ‘gembala’ Tuhan yang ada di Papua mendukung dan membantu setiap aktivitas para pengikut dan simpatisan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM)? Justru sebaliknya, para ‘pelayan’ umat Kristen, agama yang dianut sebagian besar warga Papua itu, sangat tidak senang dan terang-terangan menyatakan sikap penentangan terhadap kelompok separatis yang kerap menteror warga sipil dan aparat keamanan, menggunakan senjata api yang dimilikinya.
Kita lihat, bagaimana salah satu faksi pendukung Papua merdeka, KNPB (Komite Nasional Papua Barat) yang dikenal getol menuntut referendum ulang untuk menentukan status politik wilayah Papua, tampaknya mulai membuat para tokoh masyarakat dan tokoh agama di Papua menjadi kesal.
            Tak terkecuali Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM. Pimpinan gereja Katolik di Tanah Papua ini terpaksa bersuara keras mengkritisi sikap keras kepala para aktivis KNPB. Menurut Uskup, KNPB adalah salah satu kelompok yang selalu menolak apapun program pemerintah seperti Otonomi Khusus, UP4B dan lain lain.
“Saya rasa ada hal-hal lain yang membuat KNPB ini tak mau dengar siapapun termasuk Uskup. Kami tak berdaya untuk berbicara dengan KNPB sekedar menyampaikan hal-hal yang tak perlu mereka lalukan, bahkan makin keras dan radikal” cerita Uskup serius. “Saya tak tahu persis sampai kapan KNPB terus menolak kebaikan. Mungkin masih mencari sesuatu yang belum mereka peroleh,” ungkapnya kesal.
Ia mengaku sangat merasakan bahwa semua masyarakat Papua memiliki cita-cita untuk hidup dengan damai dan sejahtera. Maka ia mengajak seluruh kelompok untuk duduk bersama menyampaikan uneg-uneg dan bersama-sama menyelesaikan masalah serta bersama-sama pula membangun Papua menuju tanah damai yang diberkati Tuhan.
Sekadar kilas balik, beberapa waktu lalu KNPB sempat dipimpin oleh dua Tabuni, yakni Buchtar Tabuni dan Mako Tabuni. Bucthar sampi sekarang masih terus jalani sidang pidana di Pengadilan Negeri Jayapura, sedangkan Mako Tabuni terpaksa ditembak aparat Polda Papua pada 14 Juni lalu.      
Si Mako ini memiliki kaitan dengan sejumlah penyerangan dan pembunuhan di Papua. Setidaknya catatan menyebutkan bahwa Mako Tabuni terindikasi terlibat dalam 7 kasus kekerasan yang dilakukan KNPB di Jayapura. Menurutnya, indikasi keterlibatan Mako dalam sejumlah kekerasan dan aksi penembakan itu berdasarkan pengakuan Ketua KNPB Buchtar Tabuni dan beberapa anggota KNPB yang saat itu berada dalam tahanan Polda Papua.
“Setelah ditembak, di tubuh korban ditemukan satu pucuk senjata jenis Taurus yang berisi enam peluru dan di dalam tas ditemukan 16 butir kaliber 38,” jelas Kapolda Papua kepada wartawan di Jayapura, Juni lalu.

Papua Butuh Perhatian Lebih Besar


Hingga sekarang, masih saja timbul kejadian yang mengganggu keamanan, ketenangan, dan kedamaian di daerah Papua. Tentunya hal ini tidak boleh dianggap sepele. Karena itu, penanganan masalah tersebut harus tuntas dan menjangkau akar masalahnya.
Bila memang ternyata gangguan keamanan itu dilakukan oleh kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menggunakan senjata, maka sesungguh-nya pilihan penyelesaian dengan kekuatan senjata tidak tepat, misalnya dalam kasus Aceh merdeka, kecuali jika sudah berskala besar dan membahayakan kehidupan bangsa dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Melihat pengalaman dan masalah yang timbul di Papua, tampaknya lebih menyangkut masalah keadilan dan kesenjangan sosial.
 Secara kasatmata, rakyat dan Provinsi Papua bisa dikatakan masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, terutama oleh Jawa. Tak hanya di bidang ekonomi, tapi juga dalam aspek kehidupan lain, seperti di bidang pendidikan, transportasi, komunikasi, dan akses-akses terhadap kehidupan lain. Rakyat Papua melihat bahwa mereka kurang dapat menikmati hasil di daerahnya sendiri, dan daerahnya juga tidak mengalami kemajuan perkembangan yang signifikan. Padahal Papua memiliki SDA yang sangat potensial maupun yang sudah dieksploitasi.
Sebenarnya kebijakan otonomi telah diberikan kepada Papua, dan hal itu merupakan langkah yang tepat. Namun, pengelolaan otonomi itu masih jauh dari harapan dan tujuan otonomi itu sendiri, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Tanpa bermaksud menggurui, beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan untuk mengatasi masalah di Papua adalah dalam mengambil kebijakan-kebijakan perlu lebih memperhatikan aspek geografi, geopolitik, geoekonomi, dan geopertahanan dalam kerangka Ketahanan nasional serta implementasi wawasan nusantara.
Dalam kaitan inilah Papua perlu mendapatkan perhatian lebih besar. Pemerataan pembangunan dalam keadilan harus dirasakan oleh rakyat Papua yang didukung oleh rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang kuat.
Pemerintah, baik di pusat maupun daerah, harus lebih peduli dan berfokus pada pembangunan Papua yang berkeadilan agar semua anak bangsa merasa senasib sepenanggungan dan merasa satu dalam NKRI. Data yang akurat dan argumentasi yang mantap berkaitan dengan prioritas pembangunan harus dimiliki oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Daerah di Papua sebagai bahan untuk diperjuangkan ke pusat guna merumuskan kebijakan yang tepat. Sementara itu, aparat intelijen harus mewaspadai adanya infiltrasi tersembunyi maupun adanya NGO, karena bisa saja digunakan bagi kepentingan asing terselubung yang memprovokasi penduduk asli untuk melakukan tindakan kriminal dan kekerasan.