Selasa, 30 Oktober 2012

Papua Harus Diciptakan Lebih Aman



Berbagai perkembangan, khususnya di bidang politik dan keamanan, mendapat perhatian segenap komponen bangsa.

Kita memang patut prihatin terkait masalah keamanan di Papua, yang belakangan ini kembali diwarnai aksi kekerasan yang telah menimbulkan sejumlah korban, baik dari kalangan aparat bersenjata, turis, PNS, pelajar, maupun masyarakat.

Saya dan anda semua pasti sangat mendukung penegasan pernyataan Bapak Presiden RI kita bahwa di Papua harus diciptakan damai. "Aspirasi dan nuansa batin masyarakat Papua harus didengar, SDM harus dikembangkan, dan segala aksi kekerasan harus ditindak tegas berdasarkan hukum yang berlaku".

Terkait itu, satu saran kepada pemerintah, agar melakukan dialog dengan rakyat Papua untuk mendengarkan permasalahan yang terjadi di sana, guna menciptakan Papua yang damai. Proses dialog ini pernah kita lakukan pada saat terjadinya konflik di Aceh beberapa waktu yang lalu, tetapi satu hal yang perlu kita sepakati bahwa, tanah Papua merupakan bagian dari NKRI yang tidak bisa diganggu gugat dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun.

Namun di sisi lain, tetap harus menjadi perhatian adalah perlunya pemerintah untuk mempercepat pembangunan wilayah dengan pemberdayaan rakyat Papua, guna menata Otonomi Khusus Papua dengan lebih baik, sekaligus memberikan tindakan tegas terhadap gerakan separatisme demi menjaga kedaulatan NKRI.

Kamis, 04 Oktober 2012

Tangani Papua, Harus Belajar Dari Pengalaman



Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, tentu faktor-faktor penyebab yang memunculkan tuntutan ini perlu dipecahkan. Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit, dan Papua jauh lebih besar potensi SDA-nya dibanding Timor-Timur. Jika kita, dalam hal ini pemerintah, tidak segera merubah paradigma dan orentasi pembangunannya maka niscaya akan menelan buah simalakama demokrasinya.
Dalam ruang demokrasi, tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga khususnya warga Papua untuk menyerukan keinginannya, bahkan tidak hanya berbicara di daerah, tapi juga akan bicara di forum-forum internasional termasuk di PBB.Terlebih lagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis Barat melalui instrumen negaranya untuk melakukan imperialisasi dan memposisikan Papua dalam subordinat kepentingan mereka.
Indonesia harus mencermati “dalang” dibalik tuntutan referendum yang masih bergema di Papua, karena sebenarnya masyarakat kecil kebanyakan tidak begitu paham dengan perihal referendum tersebut. Sekelompok elit politik-lah yang sebenarnya bermain, dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring Internasional (dengan gereja dan LSM-LSM asing) .
Namun sesungguhnya kalau dicermati, kepentingan Global yang memainkan peran penting di Papua. Semacam simbiosis mutualisme antara kepentingan Global Barat dengan kelompok opurtunis local. Namun sesungguhnya Baratlah yang memiliki dominasi kepentingan dan keuntungan dengan “kemerdekaan” atau “federalism” kelak, yang sekarang tengah diusahakan melalui isu referendum dalam ruang demokrasi dan bendera HAM yang usang.
Fakta, Papua yang terletak di pantai Selatan timur Indonesia itu menjadi lokasi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan Amerika ini memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta.
Melihat itu semua, jelas bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Oleh karenanya, kita wajib untuk mencegah siapapun atau pihak manapun yang hendak ‘menyerahkannya’ seperti saat diserahkannya Timor Timur, terlepas dari apa pun tekanan eksternal yang dilakukan, dan terlepas dari hilangnya nyawa dalam memerangi pemberontak.
Penanganan masalah Papua harus diselesaikan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemuka-pemuka masyarakat, dan tokoh-tokoh agama yang berada di daerah Papua secara tuntas. Dengan kata lain, penanganan Papua menuntut sikap cerdas, bijak, dan tulus, serta pendekatan hukum guna berbagai aksi kekerasan bersenjata yang terjadi di Provinsi paling timur Indonesia ini.
Stabilitas politik dan keamanan di Papua sangat rapuh, sehingga kejadian-kejadian kecil bisa dipakai untuk sebuah isu politik yang besar, “semua kelompok bisa bermain di Papua”.
 Untuk itu, agar rakyat Papua bisa menikmati hidup yang aman, maka pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Papua harus benar-benar berkomitmen untuk menjalankan berbagai agenda yang telah tertuang didalam Otsus, diantaranya pembenahan secara tuntas sistem pendidikan dasar dan kesehatan yang masih sangat memprihatinkan, serta mendorong tumbuh berkembangnya ekonomi kerakyatan agar rakyat Papua merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dialog, Upaya Membangun Perdamaian di Papua



Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah realitas kemajemukan dari sisi suku, ras, serta agama. Karena itu, dialog menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun kehidupan berbangsa.
Keyakinan inilah yang seharusnya dapat mendorong kita untuk mengurai sekaligus menyelesaikan konflik yang ada di tanah Papua, dengan satu keyakinan bahwa dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua atau dialog Jakarta-Papua adalah cara modern, demokratis, dan beradab untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan Papua.
Kekerasan, dengan motivasi dan tujuan apapun, tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Cara-cara itu justru semakin merendahkan martabat manusia dan menginjak-injak nilai perdamaian yang diperjuangkan. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal sehat, kehendak, perasaan, dan hati nurani. Karena itu, siapa pun pasti memiliki kemampuan berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, termasuk pemerintah dan masyarakat Papua.
Secara umum, kondisi di Papua saat ini, orang tidak merasa nyaman dan aman. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan ini tidak hanya dirasakan masyarakat asli Papua, tetapi juga siapa pun yang kini tinggal di Papua. Kekerasan muncul bagaikan asap.
Dia bukan masalah, melainkan akibat. Asap pasti muncul karena ada api. Selama faktor penyebabnya belum ditemukan, selama itu pula kekerasan-kekerasan akan terus terjadi dan mengganggu pembangunan dan kedamaian di Papua.
Menurut Neles Kebadabi Tebay Pr, seorang Pastor dari Keuskupan Jayapura, penyebab utama kekerasan di Papua adalah munculnya dua paradigma yang berbeda dan bertentangan antara pemerintah dan masyarakat Papua. Di satu pihak pemerintah mempunyai paradigma separatisme. Mereka melihat dan mencurigai masyarakat Papua sebagai menyiapkan gerakan separatis. Setiap kegiatan budaya di Papua dicap separatis, setiap suara yang memperjuangkan hukum dan perdamaian juga dicap separatis.
Seperti halnya orang memakai kacamata hitam, segala hal yang dipandang akan hitam, segala yang dilihat adalah separatisme. Sebagai contoh, pembentukan Majelis Rakyat Papua pada dasarnya merupakan amanat undang-undang. Namun, Majelis Rakyat Papua baru terbentuk belakangan karena pemerintah masih terbelenggu paradigma separatisme.
Di sisi lain, masyarakat Papua juga punya paradigma sendiri, yaitu kolonialisme. Pemerintah dianggap sebagai penjajah. Karena dianggap penjajah, menurut mereka tidak mungkin pemerintah membangun Papua.
 Sekarang persoalannya adalah bagaimana dua paradigma ini bisa didamaikan. Kedua belah pihak harus keluar dari paradigma masing-masing dan mencari titik temu untuk mengambil paradigma baru. Inilah yang perlu dicari dalam dialog.
Dialog dilakukan secara bertingkat dan bertahap. Suku-suku di Papua berdialog terlebih dulu. Lalu, dialog mereka digelar lagi di tingkat kabupaten. Tak hanya itu, orang Papua di hutan yang menjadi gerilyawan dan orang Papua di luar negeri juga harus dipertemukan untuk berdialog.
Pada waktu yang sama, pemerintah pusat di Jakarta perlu melakukan konsultasi publik, berdialog dengan semua pemangku kepentingan di Papua. Tak lupa, pandangan politik para pendatang di Papua turut diakomodasi. Sementara itu, pemerintah daerah harus aktif berdialog dengan aparat-aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang berada di Papua untuk menyamakan persepsi. Yang terakhir, perlu ada konferensi tingkat nasional untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang realistis.
        Namun satu hal yang harus selalu digarisbawahi adalah DIALOG HARUS TETAP BERADA DALAM KORIDOR NEGARA KESATUAN RI, TANPA CAMPUR TANGAN PIHAK ASING, DAN BUKAN SEBAGAI MEDIA UNTUK MEMULUSKAN JALAN MENUJU PEMISAHAN/PELEPASAN PAPUA DARI WILAYAH NEGARA INDONESIA.

Papua Zona Damai



Papua dikenal sebagai daerah rawan konflik. Menanggapi kenyataan demikian banyak pihak menggemakan semboyan “Papua Zona Damai” supaya segala permasalahan tidak diselesaikan dengan cara kekerasan, melainkan melalui pendekatan dialog dan penghargaan satu sama yang lain. Semboyan “Papua Zona Damai atau Papua Tanah Damai” didengungkan dimana-mana dan disambut dengan hangat oleh segala lapisan masyarakat. Sayangnya bahwa semboyan “Papua Tanah Damai” kadang-kadang dipakai sebagai slogan sehingga maknanya menjadi kabur. Akibatnya antara lain adalah masyarakat yang diharapkan turut menjaga perdamaian di Papua sering tidak tahu dapat berbuat apa demi terwujudnya damai yang digemakan. Maka muncul bahaya bahwa perlahan-lahan maksud utama dari semboyan “Papua Tanah Damai” terkikis habis dan hilang maknanya.


Sambil menyadari adanya berbagai perkembangan yang kurang mendukung terwujudnya suasana damai di Papua, lembaga-lembaga yang peduli dengan perdamaian di Papua tidak ingin kehilangan gema semboyan Papua Tanah Damai. Karena dengan gema Papua Tanah Damai setidaknya dapat menggugah masyarakat Papua agar turut berpikir dan berefleksi tentang perdamaian sambil terus mengembangkan niatnya untuk menyumbangkan dengan lebih berarti bagi perdamaian di Papua. Sebab tanpa partisipasi dari semua masyarakat, perdamaian sulit terwujud.
Sehubungan dengan itu, rekonsiliasi dan dialog yang matang tentang Papua. segera dan harus dilaksanakan sedini mungkin, cari jalan keluar yang tetap sebelum bumi Papua keluar dari tanah ibu pertiwi. Jadikan Papua milik Indonesia sampai kapanpun. Papua tetap Indonesia.