Kamis, 29 Maret 2012

Menyikapi OTSUS PAPUA



Indonesia sebagai Negara Bangsa (Nation State), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang. Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.
         Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa lalu - yang menitikberatkan pada sistem yang terpusat (sentralistik) serta menggunakan pendekatan keamanan - merupakan salah satu pemicu munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Papua, kondisi itu menjadi pemicu munculnya pergolakan di  masyarakat yang ditampilkan dalam berbagai bentuk reaksi, antara lain, munculnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Hingga kini,  Organisasi Papua Merdeka (OPM), bendera Bintang Kejora, dan semangat sebagian kaum muda Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, masih belum padam.
         Untuk meredam keinginan sebagian rakyat Papua memisahkan diri dari NKRI serta guna mempercepat pembangunan di Papua dan memperkecil kesenjangan, Pemerintah mulai memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Provinsi Papua dan Papua Barat agar dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana wilayah lain di tanah air.
Pada tahun 1999, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Pemerintahan Daerah. Pengaturan dalam Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua.
         Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang bersifat khusus. Aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Otonomi Khusus bagi Papua ini pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi Pemerintah Daerah Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka NKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Pemerintah Daerah dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Papua bagi kemakmuran rakyat Papua.
            Namun Otsus ini akhirnya dijadikan senjata oleh pihak-pihak yang pro Papua Merdeka untuk menyerang balik pemerintah pusat, dengan mengeksploitasi berbagai kekurangan dan kegagalan dalam penyelenggaraan Otsus.
            Tentu kita semua berharap, Otsus yang hakikatnya bertujuan untuk kemakmuran warga masyarakat Papua, dapat kita laksanakan sekaligus kita evaluasi bersama-sama demi kebaikan semua. Bukan malah ‘air susu dibalas air tuba’. Perhatian, kebaikan dan terobosan yang dilakukan pemerintah untuk rakyatnya justru dijegal, dirusak, dan dipolitisir untuk mengadudomba rakyat dengan pemerintahnya dan memprovokasi rakyat untuk berontak. Kasihan, rakyat jua lah yang akan menjadi korbannya.
            Saya hanya bisa menghimbau saudara-saudaraku di Papua, agar dengan melihat dan mempelajari Otsus dengan hati yang bersih, pikiran yang tenang, dan sikap kerjasama yang baik, sehingga Otsus dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya benar-benar dapat dirasakan manfaatnya oleh warga Papua.

Rakyat Papua Ingin Hidup Lebih Baik


Gangguan separatisme di Papua masih belum luluh. Beberapa tahun sejak Irian Barat—kemudian berubah nama menjadi Papua—bergabung ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui pemungutan suara rakyat tahun 1962, gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) tetap menggerogoti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejumlah teror dilakukan oleh OPM—terutama di pusat kegiatan yang infonya mudah diakses ke seluruh dunia, seperti kegiatan penambangan emas dan tembaga di Freeport—berulang kali dilakukan. Tercatat, tiga tahun berturut-turut, 2009, 2010, 2011, para pekerja di Freeport ditembaki, bahkan beberapa warga Amerika Serikat menjadi korban dan beberapa obyek vital dibakar. Hal ini berlanjut di tahun 2012.
Sebenarnya, penyadaran terhadap OPM—hampir semuanya generasi muda yang tidak memahami sejarah perjuangan orang tua mereka di masa penjajahan Belanda–berkali-kali dilakukan pemerintah. Imbauan agar mereka kembali ke Ibu Pertiwi, dan bukan dengan hidup di hutan tanpa masa depan yang jelas, tidak pernah ditanggapi serius.
Separatis OPM tetap menyulutkan pergolakan, mengadu domba, menyatakan permusuhan, khususnya dilakukan di sekitar wilayah Jayapura. Buntutnya, aparat sering terpancing provokasi. Prosedur menghadapi masyarakat sipil pun dilanggar. Akibatnya, kekerasan yang dilakukan aparat itu tetap merupakan sebuah pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kelompok separatis OPM marak melakukan aksi-aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan menyerang aparat dan kelompok masyarakat Papua yang tidak mendukung mereka (selain aksi pengibaran bendera secara sporadis yang rutin mereka lakukan). Tecatat, teror dan aksi kekerasan terjadi seperti ditemukannya bom rakitan di Muara Tami, perbatasan RI-Papua Nugini dan di sekitar Polsek Abepura, Jayapura. Juga ada penyerangan warga sipil di Waena, Abepura. Juga penikaman warga sipil di Kota Wamena,  Jayawijaya. Pembakaran Depot Pertamina di Kota Biak, serta pembakaran Gedung Rektorat Universitas Cenderawasih di Abepura, penyerangan terhadap aparat keamanan dan berbagai tindak kriminal lainnya.
Secara militer, memang separatis Papua tidak memiliki kekuatan yang berarti. Hanya tinggal sekelompok kecil di daerah pedalaman. Sebagian besar warga Papua sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan telah dipengaruhi serta dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka.
Namun tetap saja rentetan insiden kekerasan yang ‘bukan lagi diduga’ (karena beberapa kasus sebelumnya sudah terbuktikan secara hukum) dilakukan kelompok separatis bersenjata tersebut (sebut OPM), sangat berpengaruh terhadap kenyamanan hidup masyarakat – khususnya warga pendatang - sekaligus mengganggu jalannya roda pemerintahan dan proses percepatan pembangunan yang terus diupayakan pemerintah.
Pemerintah pusat telah mengucurkan dana trilyunan rupiah berkaitan dengan otonomi khusus kepada masyarakat Papua,  namun tidak dikelola secara baik. Juga tidak dirasakan langsung oleh masyarakat Papua.  Faktanya, banyak aparat daerah yang jadi kaya dan bahkan memiliki harta di beberapa daerah.
 Kondisi ini tentunya tidak baik untuk pembangunan daerah Papua sendiri.  Bila dilihat dari kucuran dana yang diterima oleh Papua dari Pusat, sebenarnya masyarakat Papua bisa hidup sejahtera, namun kenyataannya, besarnya dana yang ada tidak termanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Rakyat Papua sebenarnya menginginkan kehidupan yang lebih baik, bukan harus lepas dari NKRI.

Polisi Di Tanah Papua


Tentu kita ingat, di penghujung tahun lalu (2011), tepatnya 3 Desember di Kab. Puncak Jaya 2 anggota Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas ditembus anak panah para penyerang dari perbukitan. Sebulan sebelumnya, tepatnya 7 November, AKP Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya ditembak mati oleh penyerang yang merampas senjatanya di lokasi/distrik yang sama.  
Situasi di Papua tersebut masih terus bergolak hingga sekarang ini. Memang sungguh dilematis. Dibilang aman, tidak! Dibilang perang, pun tidak! Tapi pastinya, di bumi yang dihuni manusia-manusia tanpa teknologi perang canggih, tapi di sanalah polisi yang terlatih dan dilengkapi senjata, menjadi bulan-bulanan pembunuhan. Situasi mendua beginilah yang membuat kepincangan persepsi.
           Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.

Sungguh sangat menyedihkan. Apa yang terjadi pada bangsa ini? Apa yang ada di benak anak bangsa Indonesia?. Kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar, sementara kekerasan terhadap warga dengan gampang dianggap pelanggaran HAM. Ormas dan LSM berteriak lantang ketika seseorang, entah di Papua atau di mana pun, meninggal di tangan polisi. Tetapi, ketika nyawa polisi berjatuhan di Papua, tidak ada suara yang membela. Seakan-akan pembunuhan polisi adalah wajar oleh siapa saja, di mana saja, dan dengan alasan apa saja. Hal ini juga berlaku pada institusi TNI.
 Dari perspektif fungsi keamanan yang diemban, polisi harus menjadi kepentingan publik karena fungsi keamanan yang dibebankan kepadanya adalah sebagian dari hak asasi manusia. Dengan demikian, membela polisi adalah juga menjadi kewajiban publik. Hak asasi adalah milik setiap warga negara, termasuk polisi.
            Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
  Menjadi polisi sulit dan mahal. Alangkah naifnya ketika kita membiarkan dan menganggap lumrah nyawa polisi menjadi bulan-bulanan di Papua. Bagi polisi perlu diingatkan, dalam situasi apa pun kesiagaan mutlak. Itulah tuntutan profesionalisme.