Sebagaimana kita
sering mendengar, bahwa Puncak Jaya, adalah suatu wilayah di Papua yang sering
bergolak. Puncak Jaya bisa dibilang sebagai daerah gerilya OPM. Mereka secara
rutin melakukan aksi bersenjatanya di sana dan sudah beberapa orang aparat
keamanan, polisi dan tentara yang menjadi korban, belum lagi warga sipil. Untuk
dapat meringkus mereka hidup atau mati memang tidak semudah dibayangkan orang.
Kendala utamanya adalah faktor geografis yang begitu sulit dan berat di
hamparan gunung dan hutan.
Namun ada hal yang sangat
kontradiktif, kalau tidak bisa dibilang, barangkali hal ini yang menimbulkan
kecemburuan sosial sehingga membuat beberapa orang yang merasa ‘tersingkirkan’
dan ‘tidak ikut menikmati’ hasil ‘perhatian’ pemerintah pusat terhadap Papua
yang berupa uang, jabatan, dan fasilitas, akhirnya memberontak. Mereka akhirnya
memilih hutan dan gunung sebagai tempat tinggalnya.
Seorang
kawan yang pernah ke Mulia, ibukota Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua
menceritakan kehidupan rakyat di sana. Melihat kondisi di sana, tergambarkan
adanya kesenjangan nyata antara rakyat dan pejabat. Padahal itu kondisi di
Mulia, distrik kota paling maju dibanding wilayah lain yang jauh sangat
tertinggal kondisinya. Jumlah uang yang beredar di kabupaten Puncak Jaya memang
sangat banyak, berasal dari APBD (DAU dan DAK), Dana Otsus, dan Royalty Dana
Freeport. Tetapi uang itu beredar di “atas” saja. Rakyat hanya kebagian
sisa-sisanya, itupun setelah mengais dengan berbagai proposal bantuan dan antri
di lorong-lorong kantor Pemda.
Pemda
Puncak Jaya sudah berusaha membangun Kota “rumah sosial” untuk rakyat di Mulia,
tetapi jumlahnya belum seberapa. Juga, penyiapan pranata fisik ini belum
sepenuhnya bisa diikuti dengan penyiapan pranata sosial, misalnya kebiasaan
hidup rakyat di sana. Walaupun sudah ada rumah permanen (dari kayu) yang lebih
moderen, tetap saja kebanyakan warga memilih kembali dan tinggal di Honai yang
berbentuk bulat, rapat tanpa ventilasi, dan penuh dengan asap.
Rakyat biasa boleh dikatakan hidup seadanya
di rumah-rumah adat yang sangat sederhana dan sangat jauh dari kelayakan
(apalagi jika diukur dengan standar kesehatan). Tetapi untuk para wakil rakyat
disediakan komplek perumahan yang sangat bagus, tertata rapi di lingkungan
asri. Sungguhpun begitu, hanya sedikit di antara mereka yang betah tinggal di
rumah dan di daerahnya. Banyak yang lebih senang menghabiskan waktu untuk pergi
ke “kota”, apakah ke Jayapura, Timika, atau bahkan ke Jakarta berlama-lama.
Akhirnya,
menangani masalah Papua memang perlu kehati-hatian. Aparat intelijen juga
jangan terlalu mudah memasukkan orang dalam daftar hitam di tanah Papua, siapa
pun dia dan apa pun jabatan orang tersebut. Para intelijen kini harus semakin
cerdas untuk memahami gerak dinamis di tanah Papua. Tanpa pemahaman yang penuh
mengenai Papua, kita akan melakukan kesalahan ulang seperti yang terjadi di Timor
Timur. Diplomasi mengenai Papua juga harus dilakukan secara cermat dan elegan.