Pada 1998 ketika Soeharto jatuh dan rejim Orde Baru
runtuh, peluang lebih besar terbuka bagi tumbuhnya kepemimpinan sipil dan
gerakan Pro-Demokrasi pada umumnya. Tetapi momentum ini tidak melapangkan
proses demokratisasi di Papua. Justru di tahun itu, gerakan demokrasi
dimanfaatkan dan dibelokkan dalam wujud baru berupa tuntutan kemerdekaan. Gerakan ini ditandai
secara dominan dengan pernyataan tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera.
Gerakan Pro-Demokrasi mulai kehilangan momentumnya ketika pengibaran bendera
semakin marak, isu HAM tenggelam, dan pimpinan terkemuka Amungme dan sekaligus
Papua Thomas Beanal dalam acara tatap muka dengan Presiden Habibie pada
Februari 1999 menuntut dikembalikannya kemerdekaan Papua dan menolak
berpartisipasi dalam Pemilu 1999.
Proses itu terus berlanjut hingga sekarang, sehingga
bisa dikatakan bahwa sepertinya penyelesaian politik di Papua akan mengalami
kebuntuan yang serius. Kekerasan menjadi kendala pertama dan utama. Setiap kasus
kekerasan baik yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri; pelaku, pendukung, dan
simpatisan OPM, warga pendatang, serta masyarakat lainnya yang ada di sana memberikan
sumbangan pada penyempitan ruang dialog baik yang bersifat horizontal maupun
vertikal.
Dominasi
kekerasan – seperti yang belakangan menjadi marak kembali – sebagai jawaban
setiap masalah, juga memperkecil ruang
bagi pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang dapat
memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat Papua. UU Otsus yang bertujuan untuk pengembangan
dan pembangunan di Papua mengalami kendala sangat besar. Pertama, birokrasi
pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten, dan kecamatan mengalami kelumpuhan
dan disfungsi. Kedua, kenyataan itu diperburuk oleh ketidakpercayaan rakyat
Papua pada birokrasi dan kecenderungan resistan terhadap program-program
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah dan menimbulkan gelombang protes.
Belum lagi perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat daerah, menjadi
semakin menambah dafta panjang ketidakberhasilan Otsus untuk menyejahterakan
rakyat Papua.
Jalan
ke arah dialog, negosiasi, rekonsiliasi, dan praktik politik bersama yang lebih
demokratis masih tetap merupakan mimpi. Yang paling mungkin dapat dibayangkan
dari perkembangan politik di Papua adalah pertarungan-pertarungan politik yang
mengandalkan kekerasan. Keberadaan dan sikap ‘perang’ OPM yang ditujukan kepada
institusi keamanan RI memberi arti perluasan ruang-ruang kekerasan baru.
Kebencian warga Papua terhadap pendatang pada satu sisi, dan ketakutan
pendatang pada orang Papua pada sisi lainnya, akan semakin berkembang karena
kemampuan politik kedua pihak yang lemah sehingga tidak terjadi negosiasi
politik. Kekerasan warga Papua terhadap pendatang tentunya akan dibalas pula
oleh warga pendatang.
Akankah
Papua berhasil merdeka sebagai negara sendiri atau kah ia akan tetap menjadi
bagian dari Republik Indonesia? Jawabannya barangkali masih jauh dan butuh
waktu, tetapi pada saat yang sama korban jiwa akan terus berjatuhan. Setiap
kekerasan yang satu akan mengundang kekerasan lainnya. Semakin banyak kekerasan
itu semakin tumpul inisiatif-inisiatif untuk membangun dialog, negosiasi, dan
penyelesaian yang damai dan adil. Sementara itu upaya untuk membangun demokrasi
dan perdamaian harus kembali dibangun dari puing-puing kekerasan itu.
trada komentar..........
BalasHapus