Selasa, 24 Januari 2012

DEMOKRASI DAN KEKERASAN DI PAPUA


Pada 1998 ketika Soeharto jatuh dan rejim Orde Baru runtuh, peluang lebih besar terbuka bagi tumbuhnya kepemimpinan sipil dan gerakan Pro-Demokrasi pada umumnya. Tetapi momentum ini tidak melapangkan proses demokratisasi di Papua. Justru di tahun itu, gerakan demokrasi dimanfaatkan dan dibelokkan dalam wujud baru berupa tuntutan kemerdekaan. Gerakan ini ditandai secara dominan dengan pernyataan tuntutan kemerdekaan dan pengibaran bendera. Gerakan Pro-Demokrasi mulai kehilangan momentumnya ketika pengibaran bendera semakin marak, isu HAM tenggelam, dan pimpinan terkemuka Amungme dan sekaligus Papua Thomas Beanal dalam acara tatap muka dengan Presiden Habibie pada Februari 1999 menuntut dikembalikannya kemerdekaan Papua dan menolak berpartisipasi dalam Pemilu 1999.
Proses itu terus berlanjut hingga sekarang, sehingga bisa dikatakan bahwa sepertinya penyelesaian politik di Papua akan mengalami kebuntuan yang serius. Kekerasan menjadi kendala pertama dan utama. Setiap kasus kekerasan baik yang dilakukan oleh oknum TNI dan Polri; pelaku, pendukung, dan simpatisan OPM, warga pendatang, serta masyarakat lainnya yang ada di sana memberikan sumbangan pada penyempitan ruang dialog baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. 

            Dominasi kekerasan – seperti yang belakangan menjadi marak kembali – sebagai jawaban setiap masalah,  juga memperkecil ruang bagi pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat Papua. UU Otsus yang bertujuan untuk pengembangan dan pembangunan di Papua mengalami kendala sangat besar. Pertama, birokrasi pemerintah daerah baik propinsi, kabupaten, dan kecamatan mengalami kelumpuhan dan disfungsi. Kedua, kenyataan itu diperburuk oleh ketidakpercayaan rakyat Papua pada birokrasi dan kecenderungan resistan terhadap program-program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah dan menimbulkan gelombang protes. Belum lagi perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat daerah, menjadi semakin menambah dafta panjang ketidakberhasilan Otsus untuk menyejahterakan rakyat Papua.
            Jalan ke arah dialog, negosiasi, rekonsiliasi, dan praktik politik bersama yang lebih demokratis masih tetap merupakan mimpi. Yang paling mungkin dapat dibayangkan dari perkembangan politik di Papua adalah pertarungan-pertarungan politik yang mengandalkan kekerasan. Keberadaan dan sikap ‘perang’ OPM yang ditujukan kepada institusi keamanan RI memberi arti perluasan ruang-ruang kekerasan baru. Kebencian warga Papua terhadap pendatang pada satu sisi, dan ketakutan pendatang pada orang Papua pada sisi lainnya, akan semakin berkembang karena kemampuan politik kedua pihak yang lemah sehingga tidak terjadi negosiasi politik. Kekerasan warga Papua terhadap pendatang tentunya akan dibalas pula oleh warga pendatang. 

            Akankah Papua berhasil merdeka sebagai negara sendiri atau kah ia akan tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia? Jawabannya barangkali masih jauh dan butuh waktu, tetapi pada saat yang sama korban jiwa akan terus berjatuhan. Setiap kekerasan yang satu akan mengundang kekerasan lainnya. Semakin banyak kekerasan itu semakin tumpul inisiatif-inisiatif untuk membangun dialog, negosiasi, dan penyelesaian yang damai dan adil. Sementara itu upaya untuk membangun demokrasi dan perdamaian harus kembali dibangun dari puing-puing kekerasan itu.

1 komentar: