Tentu kita ingat, di penghujung tahun lalu (2011), tepatnya 3 Desember di Kab. Puncak Jaya 2 anggota
Brimob Bripda Feerly dan Bripda Eko tewas ditembus anak panah para penyerang
dari perbukitan. Sebulan sebelumnya, tepatnya 7 November, AKP Dominggus Awes, Kapolsek Mulia, Kabupaten Puncak Jaya ditembak mati
oleh penyerang yang merampas senjatanya di lokasi/distrik yang sama.
Situasi di Papua tersebut masih terus bergolak hingga sekarang ini. Memang sungguh dilematis. Dibilang aman, tidak! Dibilang perang, pun tidak! Tapi pastinya, di
bumi yang dihuni manusia-manusia tanpa teknologi perang canggih, tapi di
sanalah polisi yang terlatih dan dilengkapi senjata, menjadi bulan-bulanan
pembunuhan. Situasi mendua beginilah yang membuat kepincangan persepsi.
Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.
Pemerintah meningkatkan jumlah personel polisi dan tentara ke Papua. Karena Papua dipersepsikan aman dan damai, pengerahan itu dikecam sebagai langkah represif. Pembunuhan terhadap dua anggota Brimob justru terjadi di tengah pengerahan pasukan ke Papua.
Sungguh sangat menyedihkan. Apa yang terjadi
pada bangsa ini? Apa yang ada di benak anak bangsa Indonesia?. Kekerasan dan
pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar, sementara kekerasan terhadap warga
dengan gampang dianggap pelanggaran HAM. Ormas dan LSM berteriak lantang ketika
seseorang, entah di Papua atau di mana pun, meninggal di tangan polisi. Tetapi,
ketika nyawa polisi berjatuhan di Papua, tidak ada suara yang membela.
Seakan-akan pembunuhan polisi adalah wajar oleh siapa saja, di mana saja, dan
dengan alasan apa saja. Hal ini juga berlaku pada institusi TNI.
Dari
perspektif fungsi keamanan yang diemban, polisi harus menjadi kepentingan
publik karena fungsi keamanan yang dibebankan kepadanya adalah sebagian dari
hak asasi manusia. Dengan demikian, membela polisi adalah juga menjadi
kewajiban publik. Hak asasi adalah milik setiap warga negara, termasuk polisi.
Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
Terlepas dari citra dan perilaku polisi yang belum memuaskan kita semua, polisi sama seperti hakim harus dihormati. Publik harus membayangkan betapa mengerikan sebuah negara tanpa polisi. Karena itu, siapa pun yang membunuh polisi harus dihukum berat.
Menjadi
polisi sulit dan mahal. Alangkah naifnya ketika kita membiarkan dan menganggap
lumrah nyawa polisi menjadi bulan-bulanan di Papua. Bagi polisi perlu
diingatkan, dalam situasi apa pun kesiagaan mutlak. Itulah tuntutan
profesionalisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar