Kamis, 29 Maret 2012

Rakyat Papua Ingin Hidup Lebih Baik


Gangguan separatisme di Papua masih belum luluh. Beberapa tahun sejak Irian Barat—kemudian berubah nama menjadi Papua—bergabung ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui pemungutan suara rakyat tahun 1962, gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) tetap menggerogoti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejumlah teror dilakukan oleh OPM—terutama di pusat kegiatan yang infonya mudah diakses ke seluruh dunia, seperti kegiatan penambangan emas dan tembaga di Freeport—berulang kali dilakukan. Tercatat, tiga tahun berturut-turut, 2009, 2010, 2011, para pekerja di Freeport ditembaki, bahkan beberapa warga Amerika Serikat menjadi korban dan beberapa obyek vital dibakar. Hal ini berlanjut di tahun 2012.
Sebenarnya, penyadaran terhadap OPM—hampir semuanya generasi muda yang tidak memahami sejarah perjuangan orang tua mereka di masa penjajahan Belanda–berkali-kali dilakukan pemerintah. Imbauan agar mereka kembali ke Ibu Pertiwi, dan bukan dengan hidup di hutan tanpa masa depan yang jelas, tidak pernah ditanggapi serius.
Separatis OPM tetap menyulutkan pergolakan, mengadu domba, menyatakan permusuhan, khususnya dilakukan di sekitar wilayah Jayapura. Buntutnya, aparat sering terpancing provokasi. Prosedur menghadapi masyarakat sipil pun dilanggar. Akibatnya, kekerasan yang dilakukan aparat itu tetap merupakan sebuah pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Kelompok separatis OPM marak melakukan aksi-aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan menyerang aparat dan kelompok masyarakat Papua yang tidak mendukung mereka (selain aksi pengibaran bendera secara sporadis yang rutin mereka lakukan). Tecatat, teror dan aksi kekerasan terjadi seperti ditemukannya bom rakitan di Muara Tami, perbatasan RI-Papua Nugini dan di sekitar Polsek Abepura, Jayapura. Juga ada penyerangan warga sipil di Waena, Abepura. Juga penikaman warga sipil di Kota Wamena,  Jayawijaya. Pembakaran Depot Pertamina di Kota Biak, serta pembakaran Gedung Rektorat Universitas Cenderawasih di Abepura, penyerangan terhadap aparat keamanan dan berbagai tindak kriminal lainnya.
Secara militer, memang separatis Papua tidak memiliki kekuatan yang berarti. Hanya tinggal sekelompok kecil di daerah pedalaman. Sebagian besar warga Papua sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan telah dipengaruhi serta dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka.
Namun tetap saja rentetan insiden kekerasan yang ‘bukan lagi diduga’ (karena beberapa kasus sebelumnya sudah terbuktikan secara hukum) dilakukan kelompok separatis bersenjata tersebut (sebut OPM), sangat berpengaruh terhadap kenyamanan hidup masyarakat – khususnya warga pendatang - sekaligus mengganggu jalannya roda pemerintahan dan proses percepatan pembangunan yang terus diupayakan pemerintah.
Pemerintah pusat telah mengucurkan dana trilyunan rupiah berkaitan dengan otonomi khusus kepada masyarakat Papua,  namun tidak dikelola secara baik. Juga tidak dirasakan langsung oleh masyarakat Papua.  Faktanya, banyak aparat daerah yang jadi kaya dan bahkan memiliki harta di beberapa daerah.
 Kondisi ini tentunya tidak baik untuk pembangunan daerah Papua sendiri.  Bila dilihat dari kucuran dana yang diterima oleh Papua dari Pusat, sebenarnya masyarakat Papua bisa hidup sejahtera, namun kenyataannya, besarnya dana yang ada tidak termanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Rakyat Papua sebenarnya menginginkan kehidupan yang lebih baik, bukan harus lepas dari NKRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar