Gangguan separatisme di Papua masih belum luluh.
Beberapa tahun sejak Irian Barat—kemudian berubah nama menjadi Papua—bergabung
ke pangkuan Ibu Pertiwi melalui pemungutan suara rakyat tahun 1962, gerakan OPM
(Organisasi Papua Merdeka) tetap menggerogoti Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Sejumlah teror dilakukan oleh OPM—terutama di
pusat kegiatan yang infonya mudah diakses ke seluruh dunia, seperti kegiatan
penambangan emas dan tembaga di Freeport—berulang kali dilakukan. Tercatat,
tiga tahun berturut-turut, 2009, 2010, 2011, para pekerja di Freeport ditembaki,
bahkan beberapa warga Amerika Serikat menjadi korban dan beberapa obyek vital
dibakar. Hal ini berlanjut di tahun 2012.
Sebenarnya, penyadaran terhadap OPM—hampir
semuanya generasi muda yang tidak memahami sejarah perjuangan orang tua mereka
di masa penjajahan Belanda–berkali-kali dilakukan pemerintah. Imbauan agar
mereka kembali ke Ibu Pertiwi, dan bukan dengan hidup di hutan tanpa masa depan
yang jelas, tidak pernah ditanggapi serius.
Separatis OPM tetap menyulutkan pergolakan,
mengadu domba, menyatakan permusuhan, khususnya dilakukan di sekitar wilayah
Jayapura. Buntutnya, aparat sering terpancing provokasi. Prosedur menghadapi
masyarakat sipil pun dilanggar. Akibatnya, kekerasan yang dilakukan aparat itu
tetap merupakan sebuah pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Kelompok separatis OPM marak melakukan
aksi-aksi teror dan kekerasan bersenjata dengan menyerang aparat dan kelompok
masyarakat Papua yang tidak mendukung mereka (selain aksi pengibaran bendera
secara sporadis yang rutin mereka lakukan). Tecatat, teror dan aksi kekerasan terjadi seperti ditemukannya bom rakitan di Muara Tami, perbatasan RI-Papua Nugini
dan di sekitar Polsek Abepura, Jayapura. Juga ada penyerangan warga sipil di
Waena, Abepura. Juga penikaman warga sipil di Kota
Wamena, Jayawijaya. Pembakaran Depot
Pertamina di Kota Biak, serta pembakaran Gedung Rektorat Universitas
Cenderawasih di Abepura, penyerangan terhadap aparat keamanan dan berbagai tindak
kriminal lainnya.
Secara militer, memang separatis Papua tidak
memiliki kekuatan yang berarti. Hanya tinggal sekelompok kecil di daerah
pedalaman. Sebagian besar warga Papua sebenarnya tidak tahu apa-apa, dan telah
dipengaruhi serta dimanfaatkan oleh pihak asing untuk kepentingan mereka.
Namun tetap saja rentetan insiden kekerasan yang
‘bukan lagi diduga’ (karena beberapa kasus sebelumnya sudah terbuktikan secara
hukum) dilakukan kelompok separatis bersenjata tersebut (sebut OPM), sangat
berpengaruh terhadap kenyamanan hidup masyarakat – khususnya warga pendatang - sekaligus
mengganggu jalannya roda pemerintahan dan proses percepatan pembangunan yang
terus diupayakan pemerintah.
Pemerintah pusat telah mengucurkan dana
trilyunan rupiah berkaitan dengan otonomi khusus kepada masyarakat Papua, namun tidak dikelola secara baik. Juga tidak
dirasakan langsung oleh masyarakat Papua. Faktanya, banyak aparat daerah yang jadi kaya
dan bahkan memiliki harta di beberapa daerah.
Kondisi ini tentunya tidak baik untuk
pembangunan daerah Papua sendiri. Bila
dilihat dari kucuran dana yang diterima oleh Papua dari Pusat, sebenarnya
masyarakat Papua bisa hidup sejahtera, namun kenyataannya, besarnya dana yang
ada tidak termanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Rakyat Papua sebenarnya menginginkan kehidupan
yang lebih baik, bukan harus lepas dari NKRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar