Hampir 10 tahun yang lalu, sebuah
peringatan keras disampaikan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) yang
menjabat saat itu yaitu Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa ada sekitar 60 ribu
intel asing berkeliaran di Indonesia.
Mengutip berita yang dituliskan
KORAN TEMPO berjudul “KSAD : 60 ribu Intel Asing di Indonesia” edisi 26
Desember 2003 disampaikan secara lengkap seperti ini :
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal
Ryamizard Ryacudu menyebutkan, sekurang-kurangnya terdapat 60 ribu intelijen
asing tersebar di Indonesia. Menurut dia, para intel itu telah lama berada di
Tanah Air. “Mereka masuk dengan mudah karena Indonesia belum memiliki arah yang
tepat untuk menangkalnya,” kata dia kemarin di Jakarta.
Ryamizard tidak bersedia menjelaskan
identitas para intel asing itu dan aktivitas mereka di Indonesia. Kata dia, data
intelijen tidak bisa diungkapkan. Ia hanya menegaskan, para intel itu akan
dihukum mati bila membocorkan rahasia negara Indonesia. Ia juga menyatakan,
untuk menangkal masuknya para intel lebih banyak, “rakyat Indonesia harus
memiliki semangat kebangsaan yang kuat.”
Pengamat militer dari CSIS Edy
Prasetyono, yang dihubungi secara terpisah, menilai pernyataan KSAD harus
didudukkan dalam kerangka tepat dan melihat konteks dunia saat ini. “Batas
negara sudah tipis, bahkan hilang. Informasi juga sudah sangat terbuka,” kata
dia.
Edy menambahkan, kriteria intel
asing yang dimaksud KSAD harus diperjelas. Jika yang dimaksud KSAD adalah
mereka yang berusaha mencari informasi rahasia suatu negara secara resmi, kata
dia, bisa diperkirakan intel berada di kedutaan besar asing di Indonesia.
“Kedutaan mana pun adalah intel yang bertugas secara resmi menggali informasi
di negara tempatnya berkantor,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, banyak intel
asing menyusup ke dalam tubuh LSM dan perusahaan-perusahaan asing yang
beroperasi di Indonesia. Jadi, ia menegaskan, jumlah intel asing yang
disebutkan KSAD mencapai 60 ribu bisa saja benar. Namun, ia menambahkan, jumlah
itu tidak perlu dikhawatirkan.
Yang harus mendapat perhatian lebih,
menurut Edy, cara Indonesia membangun sistem politik, ekonomi, dan keamanan
agar tidak mudah terguncang. Sistem yang baik, kata dia, dapat bertahan dalam
suasana keterbukaan sekarang. Dia kemudian mencontohkan sejumlah negara yang
akhirnya kandas ketika berusaha menghindarkan diri dari era keterbukaan seperti
Myanmar dan Korea Utara.
Saat memberikan sambutan pada acara
“Wisuda Purnawirawan Perwira Tinggi TNI AD” di Magelang bulan lalu, Ryamizard
menyampaikan, Indonesia sedang menghadapi ancaman perang modern. Perang ini,
kata dia saat itu, dimulai dari infiltrasi agen asing yang menggarap elemen
masyarakat tertentu guna menciptakan ketidakstabilan nasional. “Mereka
melakukan provokasi dan propaganda untuk memicu timbulnya konflik SARA,” kata
dia.
Setelah hancur, masih kata KSAD di
Magelang, para agen asing “akan mencuci otak dan mengubah paradigma berpikir
dengan penggalangan teritorial. Agresor, kata dia, kemudian akan mengubah
paradigma ideologi, politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia. Dengan cara
ini, menurut dia, para agresor akan terhindar dari tuduhan pelanggaran HAM
ataupun kejahatan perang. “Bahkan kerap dipuji sebagai pahlawan,” ia
menambahkan.
Soal perang modern itu, Edy mengaku
sependapat dengan KSAD. Indonesia, kata dia, memang berada di tengah-tengah
perang modern. Bahkan, ia menganggap, perang gagasan sedang berlangsung di Asia
Tenggara dengan munculnya ide Komunitas Keamanan Bersama. “Siapa yang paling
diuntungkan dalam perang gagasan ini, dialah pemenangnya,” ia melanjutkan.
Desakan pihak luar negeri kepada
Indonesia untuk menggunakan pembangunan model ekonomi tertentu juga dianggapnya
perang modern. Karena itu, kata dia, tentara memang harus ditingkatkan mutu dan
keterampilannya dalam kerangka menjaga sistem keamanan negara. Meski begitu, ia
berpendapat, tentara bukan satu-satunya garda pertahanan terdepan menghadapi
perang modern ini.
Pernyataan mantan kepala staf TNI
Angkatan Darat (AD) Jenderal (purn) Ryamizard Ryacudu 10 tahun lalu soal adanya
60 ribu agen asing di Indonesia, baru kali ini mendapat konfirmasi pemerintah.
Tetapi itupun hanya dilokalisir
bahwa diduga kuat intel asing bertebaran di PAPUA.
Mengutip pemberitaan REPUBLIKA
(28/5/2013), tanggapan yang sangat amat terlambat itu itu disampaikan oleh Staf
Ahli Menteri Pertahanan Mayjen TNI Hartind Asrin menjelaskan, meski pernyataan
tersebut hanya berbentuk opini publik, namun bukan berarti data itu tidak
valid.
“Boleh jadi jumlah mereka mencapai
angka tersebut. Kita semua harus waspada,”ujarnya saat
dihubungi Republika, Senin (27/5) malam. Untuk penanganan intel tersebut,
Hartind menegaskan, bola ada di tangan Badan Intelijen Nasional (BIN).
Sedangkan, pemerintah hanya sebatas membuat kebijakan.
Tidak hanya itu, dia menjelaskan,
media juga bisa berperan untuk membantu pengungkapan keberadaan agen asing ini.
Menurutnya, mereka menggunakan beragam profesi seperti wartawan,
peneliti, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat.
Sinyalemen dari Kementerian
Pertahanan ini langsung mendapat respon dari anggota DPR.
Masih mengutip REPUBLIKA
(28/5/2013), Anggota Komisi I DPRRI Nuning Kertopati menjelaskan, bekal data
tersebut harus dimanfaatkan oleh intel negara memperketat pengawasan.
Terlebih, adanya eskalasi ancaman di
daerah konflik seperti Papua. “Maka pengawasan perlu ditingkatkan,”ujarnya saat
dihubungi Republika, Senin (27/5) malam.
Menurutnya, intelijen asing biasanya
datang ke satu negara dengan cara pengelabuan. Hal tersebut juga berlaku untuk
para agen asing di Papua.
“Misalnya intelijen asing di Papua
bisa saja berkedok agama, bisnis atau pun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
masih banyak lagi,”jelasnya.
Dia mengungkapkan, intelijen negara
memang seharusnya dapat mengidentifikasi keberadaan mereka. Kemudian, mengelola
informasi tersebut dengan cara meningkatkan komunikasi dengan pemuka agama atau
adat budaya setempat. Sehingga, bentuk gerakan separatis atau terorisme bisa
dicegah.
Pembuktian terhadap keberadaan intel
asing di Indonesia memang sangat sulit dilakukan.
Tetapi Indonesia juga memiliki
perangkat dan sumber daya manusia yang bertugas di bidang intelijen, baik yang
bertugas di Badan Intelijen Negara ataupun yang bertugas dimasing-masing
institusi (semisal TNI dan Polri) pada divisi atau bagian intelijen.
Yang juga harus diwaspadai adalah
jika patut dapat diduga ada oknum-oknum aparat Indonesia sendiri (serta seluruh
jaringan yang dibangunnya) yang justru dipakai oleh kekuatan asing untuk
menjadi kaki tangan dan operator-operator operasi rahasia mereka di Indonesia.
Pengetahuan dan segala sesuatu yang
menyangkut data resmi, rahasia negara, dokumen resmi negara, informasi negara
atau bahkan hasil-hasil penyadapan terhadap berbagai kalangan di Indonesia,
hanya bisa dilakukan oleh aparat yang memiliki perangkat teknologi (IT) yang
memungkinkan mereka mengakses semua itu.
Dan satu hal yang harus diwaspadai
juga, jangan justru ada oknum-oknum aparat Indonesia dan jaringan mereka, yang
justru “ngaku-ngaku” jadi intel asing untuk jadi gagah-gagahan dan ajang fitnah
yang berbau politik.
Ini yang disebut kontra intelijen. Atau bisa juga yang patut dicurigai
memerintahkan anggota tertentu untuk menyamar menjadi jurnalis untuk
menyampaikan informasi yang menyesatkan dan provokasi ke jurnalis lain.
Banyak hal yang bisa terjadi
menyangkut dunia intelijen. Dan orang awam seperti kita (dan
mayoritas rakyat sipil Indonesia) sulit untuk bisa memahami permainan-permainan
semacam ini. Apalagi sekarang adalah zaman
modern.
Jika benar negara-negara asing
semakin berminat menginteli Indonesia maka mustahil bagi mereka menurunkan dan
mengerakkan personil-personil yang secara fisik akan mudah dikenali sebagai
orang asing (yang secara fisik dikenali sebagai bule).
Kalaupun warga negara asing memang
masuk ke Indonesia dalam kapasitas mereka sebagai agen mata-mata, maka peluang
yang paling aman bagi mereka adalah menjadi turis atau wisatawan.
Objek pengintelan yang paling mudah
disusupi adalah media atau para jurnalis.
Bukan berarti, para wartawan atau
jurnalis itu yang menjadi intel asing. Tetapi hasil kerja dan seluruh
perangkat kerja yang mereka gunakan dalam bidang kewartawanan yang jadi sasaran
empuk penyadapan “berjamaah” (semisal laptop, komputer, blackberry dan semua
perangkat komunikasi yang dimiliki kalangan jurnalis), ini yang paling mudah
disadap.
Pengintelan di era yang modern ini
akan sangat aman dilakukan dengan menggunakan perangkat IT.
Disinilah harus diwaspadai juga,
warung-warung atau kios-kios penjual pulsa di berbagai daerah, termasuk
toko-toko tak resmi yang menjual alat-alat komunikasi.
Terutama di Jakarta yang menjadi
pusat pemerintahan dan ibukota Indonesia.
Tangan kita jangan mudah menuding
negara asing sebagai pihak satu-satunya yang sangat berminat untuk menginteli
negara Indonesia.
Hendaklah juga aparat-aparat
keamanan di negara ini melakukan introspeksi diri, sudah cukup loyalkah anda
semua menjadi aparat di negara ini ?
Jangan-jangan ada diantara oknum
aparat di Indonesia yang paling rawan disusupi dan dikendalikan kekuatan asing
?
Bisa juga untuk kepentingan penguasa
di negara ini.
Menyebar kemana-mana untuk
menginteli target-target politik yang tujuannya untuk kepentingan perorangan
dan antar kelompok.
Rumah dari orang-orang yang mau
diinteli dikepung dan diawasi, ibarat binatang buas mengawasi mangsanya dari
detik ke detik tanpa henti dan tanpa punya rasa malu samasekali menginteli
rumah rakyatnya sendiri.
Menyamar jadi tetangga atau membuka
usaha di lingkungan perumahan yang diminati oleh penguasa atau institusi
tertentu untuk dipermainkan.
Apakah lawan politik pemerintah,
tokoh nasional dan pihak-pihak yang bersuara kritis di negara ini dilindungi
hak-haknya untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas mereka dengan aman tanpa
pengintelan atau penyadapan ?
Khusus masalah Papua misalnya, kita
menjadi pihak yang akhirnya semakin dibenci oleh rakyat Papua.
Bagaimana mereka tidak semakin
membenci, fakta di lapangan menunjukkan bahwa oknum aparat keamanan kita
memperkaya dirinya sendiri dengan sangat menakjubkan.
Kita ambil contoh kasus Aiptu Labora
Sitorus yang bertugas di Polres Sorong.
Siapa yang tidak takjub kalau polisi
berpangkat rendah ini punya rekening obesitas Rp. 1,5 Trilyun.
Itu sudah bukan masuk dalam kategori
rekening gendut tetapi rekening yang kegendutan alias obesitas.
Transaksi senilai Rp 1,5 triliun itu
diduga terjadi selama 5 tahun, sejak 2007 hingga 2012. Rekening Labora yang
dicurigai oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Ia juga digosipkan memiliki pulau
pribadi di wilayah Raja Ampat, Papua.
Lalu bagaimana cara kita menjelaskan
kepada dunia tentang fakta yang sangat memalukan ini dari perilaku aparat
keamanan kita di Papua ?
Bisakah dibayangkan dan dirasakan,
betapa semakin benci dan geramnya rakyat Papua kepada kita semua tanpa
terkecuali.
Saudara-saudara kita yang tinggal di
wilayah terujung Indonesia ini merasa diabaikan oleh pemerintah tetapi ada
oknum polisi yang bisa sekaya itu dari hasil mengeruk kekayaan alam dan
berbisnis di wilayah Papua.
Hanya 1 orang polisi, bisa mempunyai
rekening Rp. 1,5 Trilyun !
Seandainya pun ada ribuan atau
belasan ribu intel asing di Papua, bisakah dibayangkan bahwa negara kita
menjadi bahan tertawaan selama ini saat mereka memonitor ada polisi kita yang
bertugas di Papua memiliki transaksi hingga Rp. 1,5 Trilyun ?
Dan intelijen kita, terutama
KEPOLISIAN yang merasa paling hebat dalam penanganan terorisme di negara ini,
tidak bisa mendeteksi perilaku dari anggotanya sendiri di Papua.
Padahal Papua adalah satu-satunya
wilayah didalam NKRI yang paling banyak disorot oleh komunitas internasional.
Kita juga perlu memberikan saran
kepada Mabes Polri agar tidak lagi menempatkan mantan-mantan Komandan Densus 88
Anti Teror untuk menjadi Kapolda Papua.
Jauh lebih baik menempatkan putra
daerah menjadi Kapolda di tanah kelahirannya sendiri.
Beri kesempatan kepada putra daerah
Papua untuk memimpin di tanah kelahirannya sendiri agar ada kebanggaan dari
warga setempat bahwa putra daerah mereka jadi pimpinan institusi POLRI di
Papua.
Putra daerah Papua yang terakhir
yang dipercaya menjadi Kapolda adalah Inspektur Jenderal Max Donald Aer pada
era kepemimpinan Kapolri Jenderal Sutanto.
Belum tentu Amerika Serikat
misalnya, akan menjadi sangat terkagum-kagum kalau Kapolda di Papua adalah
mantan Komandan Densus 88 Anti Teror.
Lalu prajurit TNI yang bertugas di
Papua, juga harus diperhatikan dengan seluruh keterbatasan dana yang mereka
miliki dalam menjalankan tugas.
Disinilah Mabes TNI Cilangkap,
utamanya Mabes TNI Angkatan Darat, harus memperhatikan kesejahteraan prajurit
mereka dan keluarganya jika sedang bertugas ke daerah-daerah terpencil.
Perhatikan prajurit kalian di
daerah-daerah terpencil sebab anggaran negara memang tak besar untuk angkatan
pertahanan Indonesia.
Yang selalu menjadi alibi adalah
keuangan negara terbatas.
Hal yang paling baik untuk menangkal
dan menghindari praktek-praktek intelijen asing di Indonesia adalah pentingnya
menjaga moralitas antar sesama anak bangsa.
Pekerjaan intelijen, tak harus
memfokuskan sorotan mereka pada wilayah Papua saja, tetapi bisa ke seluruh lini
kehidupan kita berbangsa dan bernegara.
Kita harus bangga menjadi rakyat
Indonesia.
Kita harus jaga rasa percaya diri
dan nasionalisme di dalam diri kita.
Bakar, bakarlah kembali semangat
nasionalisme dan cinta pada tanah air.
Kekuatan asing hanya dapat merambah
dan merajalela menginteli negara kita kalau anak bangsa di negeri ini lemah
terhadap rayuan asing.
Imbalan menjadi intel asing bisa
jadi memang akan sangat menggiurkan.
Kita tidak tahu mengenai hal ini
secara pasti.
Loyalitas kepada kekuatan asing
pastilah juga akan berbuah hal-hal yang sangat manis, mewah, glamour dan indah
tak terhingga.
Tapi sedikit saja kita lemah dan
memberi celah kepada kekuatan asing untuk menguasai maka masa depan bangsa kita
akan dipertaruhkan pada lembaran-lembaran yang suram.
Dan sebelum kita sibuk mencurigai
kekuatan asing menginteli negara kita, mari masing-masing melakukan introspeksi
diri.
Apakah institusi anda, sudah cukup
bersih dari praktek-praktek penyadapan atau pengintelan terhadap elemen-elemen
masyarakat yang tak boleh dijamah dan diusik kemerdekaannya ?
Apakah institusi anda, sudah cukup
bersih dari pengaruh asing atau sudah benar-benar dijamin kesterilannya ?
Apakah institusi anda yakin, bahwa
bukan institusi anda yang melakukan pengintelan dan penyadapan terhadap sesama
anak bangsa di negara ini ?
Apalagi jika menginteli dan menyadap
pekerjaan kewartawanan dan para aktivis yang berjuang untuk rakyat.
Laptop disadap, handphone atau
blackbery disadap, seluruh perangkat kerja dan media sosial disadap, padahal bisa
jadi semua praktek penyadapan itu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
pribadi pada penyadap yang terus menerus ingin tahu urusan orang lain.
Alias LANCANG.
Apalagi kalau alat penyadap yang
digunakan sebenarnya adalah untuk menyadap bidang-bidang terorisme, narkoba dan
kejahatan lainnya.
Harus diwaspadai penyalahgunaan,
atau bahkan pencurian alat sadap dan hasil-hasil penyadapan itu sendiri.
Apalagi kalau alat sadap itu
alih-alih malah digunakan untuk menyadapi para purnawirawan jenderal, tokoh
nasional, lawan politik pemerintah, kalangan jurnalis dan pengusaha,
partai-partai politik dan sebagainya.
Atau pura-pura menyamar menjadi
seribu satu macam sosok agar bisa masuk ke dalam kehidupan para jurnalis, tokoh
dan aktivis misalnya.
Menyamar jadi rental mobil, rental
supir, supir pribadi, supir dinas, pembantu rumah tangga, pedagang ini itu dan
penyamaran lainnya yang sebenarnya sudah diluar batas kewenangan mereka dalam
tugas pokok yang ada.
Yakinkan dulu institusi anda bahwa
bukan kalian yang melakukan kegiatan-kegiatan intelijen yang kebablasan di
negara ini.
Kekuatan asing, hanya bisa merekrut
dan memperbanyak agen mata-mata lokal mereka di Indonesia, jika warga negara
Indonesia memang sangat lemah nasionalismenya.
Dugaan tentang adanya 6o ribu intel
asing di negara ini adalah isapan jempol belaka kalau kecurigaan itu
ditumpahkan semua kepada sosok-sosok yang berpenampilan fisik sebagai orang
asing (bule).
Besar kemungkinan, mayoritas adalah
warga negara Indonesia yang memutuskan untuk bekerja pada kekuatan asing. Lantas, siapa yang mau kita salahkan
jika rakyat kita sendiri yang tergiur untuk bekerja pada kekuatan asing ?
Operasi intelijen di negara manapun
memang harus mampu meraup dan mengeruk informasi yang sebanyak-banyaknya, dengan
tingkat akurasi yang sangat tinggi.
Dan di zaman sekarang ini - dimana
Teknologi Informasi sudah sangat canggih luar biasa - penggunaan sumber daya
manusia yang bekerja secara konvensional dalam operasi intelijen asing
sesungguhnya sangat kecil prosentasenya.
Sebab, hanya dengan menggunakan IT,
negara manapun di dunia ini bisa saling menginteli dan saling mengawasi dari
jarak jauh.
Negara yang sudah sangat maju, hanya
tinggal duduk manis di negaranya, mereka bisa tahu segala hal tentang Indonesia
dari jarak jauh (tanpa harus buang uang membayar agen agen lokal yang jumlahnya
sampai 60 ribu orang ?).
Kecanggihan teknologi harus
diperhitungkan pada era kekinian.
Sehingga, yang lebih besar
prosentasenya untuk bermain dalam transaksi intelijen asing adalah orang-orang
yang patut dapat diduga memang sama-sama memiliki akses menembus seluruh data
di negara dan menguasai kemajuan teknologi.
Dan untuk menghadapi ancaman intel
asing, tak cukup hanya kekuatan intelijen Indonesia yang bisa menangkis semua
itu sendirian.
Kita, kita semua yang harus
sama-sama waspada dan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur yang sudah
diajarkan oleh para founding fathers kita.
Simaklah pesan-pesan nasional dari
para pendiri bangsa kita agar ke depan kita lebih waspada terhadap ancaman
global yang menggunakan praktek intelijen untuk menyetir dan menguasai bangsa
ini.
“Kita belum hidup dalam sinar bulan
purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang
rajawali “. (Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)
“Janganlah mengira kita semua sudah
cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di
gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan
sebanyak-banyak keringat.” (Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno)
“Tidak seorang pun yang
menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau
aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”. (Pidato HUT Proklamasi
1956 Bung Karno)
“Jadikan deritaku ini sebagai
kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena
kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.” (Soekarno)
“Apabila di dalam diri seseorang
masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi
orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”.
(Soekarno)
“Kita tak perlu takut pada pengaruh
asing, sebab bangsa kita telah menunjukkan dapat menerima pengaruh asing tanpa
merusak kebudayaannya sendiri, melainkan karena kreatifitas bangsa Indonesia
sendiri pengaruh itu justru dijadikan‘memperkaya’ kebudayaan
Indonesia.” (Pesan Bung Hatta)
Kebudayaan kita menjadi kuat bila
ada landasan yang kokoh, yakni adab dan moral. Kebudayaan adalah pertahanan
rohani dan semangat, serta martabat bangsa. (Pesan Bung Hatta)
Janganlah mudah tergelincir dalam
saat yang akan menentukan nasib bangsa dan negara kita, seperti yang kita
hadapi pada dewasa ini, fitnah yang besar atau halus, tipu muslihat yang keras
atau yang lemah, provokator yang tampak atau sembunyi, semua itu insya Allah
dapat kita lalui dengan selamat, kalau saja kita tetap awas dan waspada,
memegang teguh pendirian cita-cita, sebagai patriot Indonesia yang sejati.
(Pesan Jenderal Besar Soedirman di Jogjakarta tgl 4 Oktober 1949)
Dalam menghadapi keadaan yang
bagaimanapun juga tetap jangan lengah, karena kelengahan dapat menyebabkan
kelemahan, kelemahan menyebabkan kekalahan berarti penderitaan. Insyaf. Percaya
dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara dan bangsa, yang didirikan di atas
korban harta benda dan jiwa raga, dari rakyat dan bangsanya itu, insya Allah
tidak akan dapat dilenyapkan manusia siapa pun juga”. (Pesan Jenderal
Besar Soedirman)
Jadi, kita harus bangga menjadi
bangsa Indonesia dan jangan menggadaikan jatidiri kita sebagai rakyat Indonesia
demi kepentingan apapun yang memberikan celah kepada kekuatan asing untuk
menguasai.
Mari kita berkawan kepada
negara-negara sahabat dan komunitas internasional manapun didunia ini, dengan
menunjukkan jatidiri kita sebagai bangsa yang santun, bersahabat dan penuh
integritas diri.
Sekali lagi, jaga NASIONALISME !
Oleh : Mega Simarmata, Pemimpin Redaksi KATAKAMI.COM
May 28, 2013
(Sumber: http://indonesiakatakami.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar