Kamis, 04 Oktober 2012

Tangani Papua, Harus Belajar Dari Pengalaman



Untuk menghilangkan tuntutan referendum dari Tanah Papua, tentu faktor-faktor penyebab yang memunculkan tuntutan ini perlu dipecahkan. Lepasnya Timor-Timor menjadi pengalaman sangat pahit, dan Papua jauh lebih besar potensi SDA-nya dibanding Timor-Timur. Jika kita, dalam hal ini pemerintah, tidak segera merubah paradigma dan orentasi pembangunannya maka niscaya akan menelan buah simalakama demokrasinya.
Dalam ruang demokrasi, tidak ada lagi sumbatan bagi setiap warga khususnya warga Papua untuk menyerukan keinginannya, bahkan tidak hanya berbicara di daerah, tapi juga akan bicara di forum-forum internasional termasuk di PBB.Terlebih lagi Papua adalah ladang subur tempat melampiaskan ketamakan para kapitalis Barat melalui instrumen negaranya untuk melakukan imperialisasi dan memposisikan Papua dalam subordinat kepentingan mereka.
Indonesia harus mencermati “dalang” dibalik tuntutan referendum yang masih bergema di Papua, karena sebenarnya masyarakat kecil kebanyakan tidak begitu paham dengan perihal referendum tersebut. Sekelompok elit politik-lah yang sebenarnya bermain, dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring Internasional (dengan gereja dan LSM-LSM asing) .
Namun sesungguhnya kalau dicermati, kepentingan Global yang memainkan peran penting di Papua. Semacam simbiosis mutualisme antara kepentingan Global Barat dengan kelompok opurtunis local. Namun sesungguhnya Baratlah yang memiliki dominasi kepentingan dan keuntungan dengan “kemerdekaan” atau “federalism” kelak, yang sekarang tengah diusahakan melalui isu referendum dalam ruang demokrasi dan bendera HAM yang usang.
Fakta, Papua yang terletak di pantai Selatan timur Indonesia itu menjadi lokasi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Perusahaan Amerika ini memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintahan di Jakarta.
Melihat itu semua, jelas bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia. Oleh karenanya, kita wajib untuk mencegah siapapun atau pihak manapun yang hendak ‘menyerahkannya’ seperti saat diserahkannya Timor Timur, terlepas dari apa pun tekanan eksternal yang dilakukan, dan terlepas dari hilangnya nyawa dalam memerangi pemberontak.
Penanganan masalah Papua harus diselesaikan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemuka-pemuka masyarakat, dan tokoh-tokoh agama yang berada di daerah Papua secara tuntas. Dengan kata lain, penanganan Papua menuntut sikap cerdas, bijak, dan tulus, serta pendekatan hukum guna berbagai aksi kekerasan bersenjata yang terjadi di Provinsi paling timur Indonesia ini.
Stabilitas politik dan keamanan di Papua sangat rapuh, sehingga kejadian-kejadian kecil bisa dipakai untuk sebuah isu politik yang besar, “semua kelompok bisa bermain di Papua”.
 Untuk itu, agar rakyat Papua bisa menikmati hidup yang aman, maka pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Papua harus benar-benar berkomitmen untuk menjalankan berbagai agenda yang telah tertuang didalam Otsus, diantaranya pembenahan secara tuntas sistem pendidikan dasar dan kesehatan yang masih sangat memprihatinkan, serta mendorong tumbuh berkembangnya ekonomi kerakyatan agar rakyat Papua merasa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar