Kamis, 04 Oktober 2012

Dialog, Upaya Membangun Perdamaian di Papua



Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah realitas kemajemukan dari sisi suku, ras, serta agama. Karena itu, dialog menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun kehidupan berbangsa.
Keyakinan inilah yang seharusnya dapat mendorong kita untuk mengurai sekaligus menyelesaikan konflik yang ada di tanah Papua, dengan satu keyakinan bahwa dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua atau dialog Jakarta-Papua adalah cara modern, demokratis, dan beradab untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan Papua.
Kekerasan, dengan motivasi dan tujuan apapun, tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Cara-cara itu justru semakin merendahkan martabat manusia dan menginjak-injak nilai perdamaian yang diperjuangkan. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal sehat, kehendak, perasaan, dan hati nurani. Karena itu, siapa pun pasti memiliki kemampuan berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, termasuk pemerintah dan masyarakat Papua.
Secara umum, kondisi di Papua saat ini, orang tidak merasa nyaman dan aman. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan ini tidak hanya dirasakan masyarakat asli Papua, tetapi juga siapa pun yang kini tinggal di Papua. Kekerasan muncul bagaikan asap.
Dia bukan masalah, melainkan akibat. Asap pasti muncul karena ada api. Selama faktor penyebabnya belum ditemukan, selama itu pula kekerasan-kekerasan akan terus terjadi dan mengganggu pembangunan dan kedamaian di Papua.
Menurut Neles Kebadabi Tebay Pr, seorang Pastor dari Keuskupan Jayapura, penyebab utama kekerasan di Papua adalah munculnya dua paradigma yang berbeda dan bertentangan antara pemerintah dan masyarakat Papua. Di satu pihak pemerintah mempunyai paradigma separatisme. Mereka melihat dan mencurigai masyarakat Papua sebagai menyiapkan gerakan separatis. Setiap kegiatan budaya di Papua dicap separatis, setiap suara yang memperjuangkan hukum dan perdamaian juga dicap separatis.
Seperti halnya orang memakai kacamata hitam, segala hal yang dipandang akan hitam, segala yang dilihat adalah separatisme. Sebagai contoh, pembentukan Majelis Rakyat Papua pada dasarnya merupakan amanat undang-undang. Namun, Majelis Rakyat Papua baru terbentuk belakangan karena pemerintah masih terbelenggu paradigma separatisme.
Di sisi lain, masyarakat Papua juga punya paradigma sendiri, yaitu kolonialisme. Pemerintah dianggap sebagai penjajah. Karena dianggap penjajah, menurut mereka tidak mungkin pemerintah membangun Papua.
 Sekarang persoalannya adalah bagaimana dua paradigma ini bisa didamaikan. Kedua belah pihak harus keluar dari paradigma masing-masing dan mencari titik temu untuk mengambil paradigma baru. Inilah yang perlu dicari dalam dialog.
Dialog dilakukan secara bertingkat dan bertahap. Suku-suku di Papua berdialog terlebih dulu. Lalu, dialog mereka digelar lagi di tingkat kabupaten. Tak hanya itu, orang Papua di hutan yang menjadi gerilyawan dan orang Papua di luar negeri juga harus dipertemukan untuk berdialog.
Pada waktu yang sama, pemerintah pusat di Jakarta perlu melakukan konsultasi publik, berdialog dengan semua pemangku kepentingan di Papua. Tak lupa, pandangan politik para pendatang di Papua turut diakomodasi. Sementara itu, pemerintah daerah harus aktif berdialog dengan aparat-aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang berada di Papua untuk menyamakan persepsi. Yang terakhir, perlu ada konferensi tingkat nasional untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang realistis.
        Namun satu hal yang harus selalu digarisbawahi adalah DIALOG HARUS TETAP BERADA DALAM KORIDOR NEGARA KESATUAN RI, TANPA CAMPUR TANGAN PIHAK ASING, DAN BUKAN SEBAGAI MEDIA UNTUK MEMULUSKAN JALAN MENUJU PEMISAHAN/PELEPASAN PAPUA DARI WILAYAH NEGARA INDONESIA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar