Berbagai
tayangan televisi sepertinya tak henti-hentinya mengulas dan memberitakan
gejolak di Papua dan semakin tampak pemerintah sudah hilang akal bagaimana
mengurai benang kusut itu. Padahal dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan
sejak diberlakukan UU Otsus telah mencapai Rp 28 triliun, bagi penduduk Papua
yang hanya 2,3 juta. Sudah jelas penggelontoran dana Otsus bukan jawaban bagi
kepelikan masalah Papua.
Jujur,
harus diakui bahwa berbagai program di Papua yang menggunakan dana Otsus tak
menyentuh akar permasalahan, malah telah berkembang menjadi bisul yang siap
meletus sewaktu-waktu. Misalnya, masalah kelaparan, kurang pangan, rendahnya
mutu pendidikan, mundurnya pelayanan kesehatan, tingginya pengangguran,
sulitnya transportasi dan komunikasi, pembalakan hutan dan laut. Itu semua
hanyalah merupakan puncak gunung es yang terlihat kasat mata.
Teriakan “merdeka” merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat asli Papua, melihat
realitas kehidupan yang sangat pahit di sana. Apalagi Otsus dirasakan
masyarakat di sana, justru malah membuat jurang yang memisahkan antara si kaya
dan si miskin. Rakyat Papua merasa terjajah di tanah airnya sendiri.
Suatu
pendapat mengatakan, penyebab kegagalan Otsus terletak karena lebih
menitikberatkan besarnya nilai anggaran dan bukan pada menciptakan lapangan
pekerjaan dan keterampilan, pemerataan kesejahteraan dan ketersediaan kebutuhan
dasar, tegaknya hukum dan keadilan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
mereformasi sistem birokrasi dan memperkuat pengawasan. Berbagai kelemahan ini
akhirnya menciptakan kelompok elite Papua yang lebih sering berada di Jakarta
ketimbang di daerahnya. Kelompok elite inilah yang mempunyai akses lebih untuk
didengar di Jakarta melalui bantuan media massa.
Bukan
saja Otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran
matang telah berakibat makin rumitnya masalah dan telah menciptakan peluang
bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elit di daerah, yang justru tidak
berpihak pada masyarakatnya sendiri.
Lalu
akan timbul pertanyaan sederhana di benak rakyat Papua, mengapa dana yang
puluhan triliunan tersebut tidak dirasakan manfaatnya oleh mereka. Di mana
kesalahan perencanaan? Ke mana lari dana-dana itu? Bagaimana alokasi dananya
yang telah dianggarkan?
Apakah
gejolak yang terjadi selama ini karena rakyat tidak merasakan adanya manfaat
dari Otsus, sebagai akibat dari lemahnya pengawasan, profesionalisme, dan
tumpang tindihnya birokrasi? Mari kita (segenap komponen bangsa) pikirkan,
atasi, dan selesaikan secara bersama-sama. Apabila kita kompak, bersatu, dan mengendepankan
kepentingan bangsa-negara diatas semua kepentingan lainnya, niscaya gejlak
Papua akan dapat dieliminir, semoga.