Mengapa Papua masih terus
bergejolak meskipun sudah triliunan rupiah dana Otonomi Khusus (Otsus)
dialirkan oleh Pemerintah Pusat ke Pulau Cendrawasih itu?
Pertanyaan tersebut sangat
layak dikemukakan mengingat sejak 2001 melalui UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua,Pemerintah pusat telah menetapkan Provinsi
Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus. Pengaturan mengenai penerapan Otsus di
Papua merupakan kebijakan nasional yang melakukan diferensiasi kebijakan atas
daerah yang memiliki kekhasan, baik ditinjau dari sisi
sejarah maupun budaya dengan menerapkan sistem desentralisasi asimetris.
Penerapan Otsus Papua diikuti
dengan memberikan kekhususan dalam melaksanakan desentralisasi fiskal yang
diatur dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2001, yang memberikan
ruang terhadap adanya penerimaan provinsi dalam rangka Otonomi Khusus. Pola
semacam itu dikenal dengan metode transfer antarpemerintah (intergovernmental
transfers), yaitu pemindahan penerimaan umum yang berasal dari berbagai pajak
yang dikumpulkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah/lokal untuk
pembiayaan tertentu.
Hal itulah yang dikenal
sebagai dana Otsus. Pemberian dana Otsus tersebut merupakan tindak lanjut dari
penerapan sistem desentralisasi asimetris di Papua.Tak salah jika dikatakan
bahwa desentralisasi asimetris merupakan bentuk federalisasi lunak (soft
federalism) guna memberikan ruang yang lebih luas kepada suatu daerah tertentu
dalam suatu negara yang mengalami krisis hubungan politik antara pusat-daerah.
Model desentralisasi asimetris semacam itu mirip dengan kebijakan pemerintah
pusat terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.
Pertanyaan kritis yang perlu
dikemukakan terkait kembali menguatnya gejolak sebagian unsur masyarakat di
Papua yang konon disponsori oleh OPM adalah sejauh mana keterkaitan aksi- aksi
tersebut dengan kebocoran dana Otsus yang menurut temuan BPK telah mencapai
angka Rp4,2 triliun? Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan melakukan
pendekatan komprehensif dalam menyelesaikan kompleksitas permasalahan di Papua
yang memicu terjadinya peningkatan suhu politik di Papua.
Semakin meluasnya
ketidakpuasan akibat kesenjangan ekonomi yang kian melebar di Papua kini kian
berbaur dengan isu politik yang selama ini diusung oleh para
aktivis yang bernaung di bawah OPM. Bahkan, sumbu pendek sebagian besar
masyarakat Papua yang merasa tidak puas atas penerapan transfer fiskal yang
salah urus di Papua kini sangat mudah dinyalakan oleh siapa pun yang ingin
mengail di air keruh.
Kasus penyimpangan dana Otsus
Papua merupakan sebuah pelajaran sangat berharga bahwa kebijakan mengalirkan
sejumlah besar dana atas nama Otsus harus berjalan seiring dengan upaya
membangun transparansi, akuntabilitas dan partisipasi rakyat lokal. Dengan
kondisi yang berkembang saat ini di Papua, tak ada pilihan lain selain mencoba
melakukan pendekatan dengan hati melalui sistem desentralisasi berbasis empati, sekaligus melalui
langkah-langkah hukum yang kongkrit dan tegas dalam mengatasi kebocoran (disana-sini) dalam
aliran dana Otsus, dengan menjerat para pelaku korupsinya tanpa pandang bulu
dan tidak tebang pilih, mulai dari tingkat Pusat (Jakarta) hingga jajaran
pejabat Lokal/Daerah di Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar