Selasa, 27 November 2012

Memperjuangkan Papua



Berbagai tayangan televisi sepertinya tak henti-hentinya mengulas dan memberitakan gejolak di Papua dan semakin tampak pemerintah sudah hilang akal bagaimana mengurai benang kusut itu. Padahal dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dikucurkan sejak diberlakukan UU Otsus telah mencapai Rp 28 triliun, bagi penduduk Papua yang hanya 2,3 juta. Sudah jelas penggelontoran dana Otsus bukan jawaban bagi kepelikan masalah Papua.
Jujur, harus diakui bahwa berbagai program di Papua yang menggunakan dana Otsus tak menyentuh akar permasalahan, malah telah berkembang menjadi bisul yang siap meletus sewaktu-waktu. Misalnya, masalah kelaparan, kurang pangan, rendahnya mutu pendidikan, mundurnya pelayanan kesehatan, tingginya pengangguran, sulitnya transportasi dan komunikasi, pembalakan hutan dan laut. Itu semua hanyalah merupakan puncak gunung es yang terlihat  kasat mata.
Teriakan “merdeka” merupakan akumulasi kekecewaan masyarakat asli Papua, melihat realitas kehidupan yang sangat pahit di sana. Apalagi Otsus dirasakan masyarakat di sana, justru malah membuat jurang yang memisahkan antara si kaya dan si miskin. Rakyat Papua merasa terjajah di tanah airnya sendiri.
Suatu pendapat mengatakan, penyebab kegagalan Otsus terletak karena lebih menitikberatkan besarnya nilai anggaran dan bukan pada menciptakan lapangan pekerjaan dan keterampilan, pemerataan kesejahteraan dan ketersediaan kebutuhan dasar, tegaknya hukum dan keadilan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mereformasi sistem birokrasi dan memperkuat pengawasan. Berbagai kelemahan ini akhirnya menciptakan kelompok elite Papua yang lebih sering berada di Jakarta ketimbang di daerahnya. Kelompok elite inilah yang mempunyai akses lebih untuk didengar di Jakarta melalui bantuan media massa.
Bukan saja Otsus, efek dari program pemekaran wilayah yang tidak dibarengi pemikiran matang telah berakibat makin rumitnya masalah dan telah menciptakan peluang bagi korupsi dengan melahirkan kelompok elit di daerah, yang justru tidak berpihak pada masyarakatnya sendiri.
Lalu akan timbul pertanyaan sederhana di benak rakyat Papua, mengapa dana yang puluhan triliunan tersebut tidak dirasakan manfaatnya oleh mereka. Di mana kesalahan perencanaan? Ke mana lari dana-dana itu? Bagaimana alokasi dananya yang telah dianggarkan?
Apakah gejolak yang terjadi selama ini karena rakyat tidak merasakan adanya manfaat dari Otsus, sebagai akibat dari lemahnya pengawasan, profesionalisme, dan tumpang tindihnya birokrasi? Mari kita (segenap komponen bangsa) pikirkan, atasi, dan selesaikan secara bersama-sama. Apabila kita kompak, bersatu, dan mengendepankan kepentingan bangsa-negara diatas semua kepentingan lainnya, niscaya gejlak Papua akan dapat dieliminir, semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar