Tak bisa dipungkiri, Indonesia adalah
realitas kemajemukan dari sisi suku, ras, serta agama. Karena itu, dialog
menjadi sebuah keniscayaan dalam membangun kehidupan berbangsa.
Keyakinan inilah yang seharusnya dapat mendorong
kita untuk mengurai sekaligus menyelesaikan konflik yang ada di tanah Papua,
dengan satu keyakinan bahwa dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua atau
dialog Jakarta-Papua adalah cara modern, demokratis, dan beradab untuk mencari
solusi terbaik bagi permasalahan Papua.
Kekerasan, dengan motivasi dan tujuan apapun,
tidak akan pernah menyelesaikan masalah Papua. Cara-cara itu justru semakin
merendahkan martabat manusia dan menginjak-injak nilai perdamaian yang
diperjuangkan. Pada dasarnya manusia diciptakan dengan akal sehat, kehendak,
perasaan, dan hati nurani. Karena itu, siapa pun pasti memiliki kemampuan
berkomunikasi dan berdialog dengan orang lain, termasuk pemerintah dan
masyarakat Papua.
Secara umum, kondisi di Papua saat ini,
orang tidak merasa nyaman dan aman. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan ini tidak
hanya dirasakan masyarakat asli Papua, tetapi juga siapa pun yang kini tinggal
di Papua. Kekerasan muncul bagaikan asap.
Dia bukan masalah, melainkan akibat. Asap
pasti muncul karena ada api. Selama faktor penyebabnya belum ditemukan, selama
itu pula kekerasan-kekerasan akan terus terjadi dan mengganggu pembangunan dan
kedamaian di Papua.
Menurut Neles
Kebadabi Tebay Pr, seorang Pastor dari Keuskupan Jayapura, penyebab utama
kekerasan di Papua adalah munculnya dua paradigma yang berbeda dan bertentangan
antara pemerintah dan masyarakat Papua. Di satu pihak pemerintah mempunyai
paradigma separatisme. Mereka melihat dan mencurigai masyarakat Papua sebagai
menyiapkan gerakan separatis. Setiap kegiatan budaya di Papua dicap separatis,
setiap suara yang memperjuangkan hukum dan perdamaian juga dicap separatis.
Seperti halnya orang memakai kacamata
hitam, segala hal yang dipandang akan hitam, segala yang dilihat adalah
separatisme. Sebagai contoh, pembentukan Majelis Rakyat Papua pada dasarnya
merupakan amanat undang-undang. Namun, Majelis Rakyat Papua baru terbentuk
belakangan karena pemerintah masih terbelenggu paradigma separatisme.
Di sisi lain, masyarakat Papua juga punya paradigma
sendiri, yaitu kolonialisme. Pemerintah dianggap sebagai penjajah. Karena
dianggap penjajah, menurut mereka tidak mungkin pemerintah membangun Papua.
Sekarang persoalannya adalah bagaimana dua
paradigma ini bisa didamaikan. Kedua belah pihak harus keluar dari paradigma
masing-masing dan mencari titik temu untuk mengambil paradigma baru. Inilah
yang perlu dicari dalam dialog.
Dialog dilakukan secara bertingkat dan
bertahap. Suku-suku di Papua berdialog terlebih dulu. Lalu, dialog mereka
digelar lagi di tingkat kabupaten. Tak hanya itu, orang Papua di hutan yang
menjadi gerilyawan dan orang Papua di luar negeri juga harus dipertemukan untuk
berdialog.
Pada waktu yang sama, pemerintah pusat di
Jakarta perlu melakukan konsultasi publik, berdialog dengan semua pemangku
kepentingan di Papua. Tak lupa, pandangan politik para pendatang di Papua turut
diakomodasi. Sementara itu, pemerintah daerah harus aktif berdialog dengan
aparat-aparat keamanan dan perusahaan-perusahaan yang berada di Papua untuk
menyamakan persepsi. Yang terakhir, perlu ada konferensi tingkat nasional untuk
mengidentifikasi masalah dan mencari solusi yang realistis.
Namun satu hal yang harus selalu
digarisbawahi adalah DIALOG HARUS TETAP BERADA DALAM KORIDOR NEGARA KESATUAN
RI, TANPA CAMPUR TANGAN PIHAK ASING, DAN BUKAN SEBAGAI MEDIA UNTUK MEMULUSKAN
JALAN MENUJU PEMISAHAN/PELEPASAN PAPUA DARI WILAYAH NEGARA INDONESIA.