Presiden
RI, Susilo Bambang Yudhoyono telah memerintahkan jajaran pemerintah terus
berkomunikasi aktif dengan masyarakat Papua untuk mencari solusi persoalan
Papua. Tentu perintah ini menjadi tidak bermakna jika sekadar respons sesaat
terhadap gejolak ketidakamanan yang terjadi kembali di Papua.
Meskipun
telah ada pertemuan-pertemuan informal—terbuka ataupun tertutup—antara Presiden
SBY, pemerintah, dan wakil Papua, kemelut belum juga tuntas. Artinya, komunikasi
konstruktif belum terbukti ampuh sebagai solusi.
Skema
komunikasi aktif yang kini dicetuskan Presiden SBY mungkin akan bernasib sama.
Upaya solusi yang ditempuh selama ini belum menyentuh persoalan fundamental.
Persoalannya adalah kedua belah pihak—Jakarta dan Papua—memiliki persepsi dan
keyakinan yang cenderung bertolak belakang, diperparah dengan sikap saling
curiga akut yang meruntuhkan rasa saling percaya.
Antara
Jakarta dan orang asli Papua masih bergelut di pusaran konflik. Bahkan, menurut
Forum Akademisi untuk Papua Damai (FAPD), konflik itu tidak lagi pada tingkat
intensitas rendah, tetapi telah meningkat menjadi intensitas sedang dan
berpotensi menjadi intensitas tinggi jika tidak ada resolusi cepat dan tepat
(FAPD, 9-12 Desember 2011).
Fakta
menunjukkan, ganjalan utama penyelesaian konflik di Papua adalah tarik-menarik
Jakarta dengan Papua mengenai persoalan kedaulatan teritorial. Di satu sisi,
Jakarta berupaya keras membendung Papua lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Di sisi sebaliknya, Papua senantiasa memelihara suasana batin
sebagai korban yang tercaplok, tereksploitasi, termarjinal, dan teraniaya
nasibnya sehingga harus melawan.
Terkait
itu, penyelesaian persoalan di Papua harus dimulai dari kemauan baik kedua
belah pihak mengendurkan tarik-menarik tersebut. Jika tetap berkukuh pada
”harga mati” masing-masing, hampir mustahil akan ada solusi final. Maka,
diperlukan terobosan awal untuk mencairkan ketegangan sebelum masuk pada fase
komunikasi konstruktif, komunikasi aktif, atau dialog.
Dalam
konteks itu, kedua belah pihak perlu melakukan komunikasi simbolik (symbolic
communication). Komunikasi simbolik di sini bukan hanya dalam pengertian sempit
sebagai bentuk komunikasi nonverbal, melainkan juga dalam pengertian luas
sebagai bentuk komunikasi untuk mencapai resolusi konflik.
Komunikasi
simbolik berangkat dari premis (pernyataan yang digunakan sebagai dasar
penarikan kesimpulan).bahwa solusi final atas persoalan Papua sulit dicapai
melalui pendekatan top down (atas inisiatif/tawaran Jakarta) ataupun pendekatan
bottom up (berdasarkan usulan/tuntutan dari Papua). Upaya mencapai solusi final
atas persoalan di Papua harus dari sejak awal melibatkan kedua belah pihak
(both sides) secara paralel dan simultan. Ini artinya penyelesaian masalah
Papua harus berbasis dialog.
Telah terbukti, tawaran apa pun yang muncul dari
Jakarta selalu ditampik oleh Papua. Pengembalian Otonomi Khusus Papua dan
penolakan terhadap Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat adalah
contoh nyata. Sebaliknya, apapun yang diusulkan/dituntut oleh Papua cenderung dicurigai Jakarta sebagai
agenda separatisme atau internasionalisasi masalah.
Melalui
komunikasi simbolik, setiap pihak mengekspresikan pesan positif kepada pihak
lain guna mengikis sikap saling curiga dan sekaligus membangun kepercayaan.
Untuk itu, Jakarta memulainya dengan pesan positif segera mengakhiri pendekatan
keamanan/militeristik (sekuritisasi) di Papua.
Ide
menambah jumlah pasukan di Papua merupakan pesan negatif yang justru merumitkan
persoalan. Pesan positif ini bukanlah harga yang terlampau tinggi demi
memastikan Papua tetap di pangkuan Ibu Pertiwi.
Sementara
Papua memulainya dengan pesan positif komitmen keindonesiaan/ NKRI sebagaimana
telah dilakukan oleh fungsionaris Gerakan Aceh Merdeka sejak 2005. Mengibarkan
bendera Bintang Kejora sebagai ekspresi resistensi, bukan sebagai ekspresi
kultural, adalah pesan negatif yang justru meruncingkan ketegangan. Pesan
positif ini bukan harga yang sangat mahal demi terwujudnya Papua damai.
Jika
pesan positif telah saling diterima, kecurigaan akan tertepis dan kepercayaan
akan terbangun. Jakarta tak mempunyai lagi justifikasi terus melabeli
separatisme terhadap Papua. Papua pun tak memiliki justifikasi lagi terus
menunjuk Jakarta sebagai sumber penderitaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar